Monday, 14 October 2013


Dengan setengah berjongkok kuarahkan kamera “olympus” ku ke satu-satunya objek yang sudah lama kuincar selama tiga tahun terakhir. Tak cukup sekali, bahkan berkali-kali kupotret sosok seniman bela diri yang banyak mewarnai perfilman di abad dua puluh itu tak juga membuatku bosan. Meski hanya berupa monumen, aku sudah merasa bertemu langsung dengan sosoknya yang nyata. Legendaris yang lebih populer dengan nama Bruce Lee ini berhasil membuatku tergila-gila pada seni bela diri. Hm… Memandangi gaya kuda-kudanya yang gagah mengantarkan ingatanku pada mama yang akhir-akhir ini semakin over protective. Mamalah yang selalu mengintrogasiku jika aku hendak keluar rumah. Sedang aku tak bisa selalu protes meski nyatanya aku telah menjadi lelaki setengah dewasa. Karena bagiku, mama pantas khawatir setelah menit-menit yang kulalui harus bersahabat dengan berbagai macam obat.
“Kaka, selama sebulan ini Mama memang tidak akan mengawasimu secara langsung. Tapi ingat pesan Mama baik-baik.” Mama mulai mengomel di detik-detik kepergianku ke Hong Kong.
“Iya, Ma…,” Responku santai.
“Kaka, Mama tahu kamu merasa tersiksa dengan sikap Mama yang begini terhadapmu. Tapi sikap bandelmu yang dari dulu itu tetap membuat Mama was-was.”
“Iya, Ma…” sahutku dengan nada yang sama.
“Kaka!”
“Ada apa, Ma?” aku mulai usil.
“Masih nanya nih anak!” Mama mulai kesal.
“Kaka pasti baik-baik saja, kok. Percaya deh!” Mama mulai tenang.
“Tapi kalau misalkan Kaka mati di Hong Kong, Kaka mau jenazah Kaka dikuburkan di dekat monumen Lee Jun-Fan.” Dengan gaya sok tenang kutekankan suaraku saat menyebut nama asli Bruce Lee di hadapan mama yang agak bingung.
“Anak ini!!!” Seketika tangan mama menjewer telingaku geram.
“Aduh, Ma. Umur Kaka sudah sembilan belas tahun. Masih saja dijewer-jewer,” Gerutuku.
“Makanya, jangan selalu bikin mama kesel, Nak!” ucap Mama seraya mengencangkan jewerannya.
“Iya, iya, iya. Ini yang terakhir kalinya,” Jawabku pasrah. Akhirnya mama melepas jewerannya. Huff… lega. Ternyata mama benar-benar memiliki kekhawatiran tingkat tinggi terhadap keadaanku saat ini. Terkadang, tanpa ia sadar, aku selalu menguji kekhawatirannya terhadapku. Tapi kini, aku tak perlu ragu lagi. Karena aku yakin bahwa mama sangat tak ingin bila aku pergi dalam kurun waktu yang lebih cepat.
Kreekk…
Bunyi shutter kameraku kembali menghasilkan gambar yang sama. Ini adalah kali terakhir kupotret bintang lagaku hari ini. Entah esok, lusa dan seterusnya. Tak perlu heran bila lima puluh persen dari hasil bidikan kameraku dipenuhi dengan monumen Bruce Lee dan suasana Avenue of Stars, tempat ia diabadikan. Tak terasa sore semakin menua. Kuputuskan untuk segera kembali ke apartemenku. Di perjalanan pulang, kubuka list rencanaku selama sebulan penuh di Hong Kong. Yaps! Kucentang list rencana pertamaku yang tertera jelas di buku harian, menemui foto copy bintang lagaku dan berpotret sepuasnya. Tepat pukul lima dini hari, aku telah sampai di apartemenku. Lelahnya mengelilingi lokasi monument Bruce Lee tak juga membuatku sadar bahwa aku telah berhasil menyentuh Hong Kong tanpa peduli apa yang akan terjadi setelah menit-menit ini berlalu.
Dingin membungkus kesendirianku malam ini. Nuansa malam yang indah di Hong Kong selalu menggodaku untuk keluar malam saat menyaksikannya di balik jendela. Ah, andai bisikan mama tentang insiden kecelakaan di Negara Asia yang mengerikan berhenti berdengung di telingaku, aku tak akan pikir panjang lagi untuk keluar apartemen.
“Pokoknya Kaka gak boleh keluar malam. Apapun alasannya. Lengkapi semua kebutuhan di siang hari. Kaka sudah tahu, kan bagaimana tingkat kecelakaan di luar negeri? Apalagi di Negara-negara ASIA.” kudengarkan pesan mama saat kuputuskan untuk menelfonnya pertama kali setibaku di Hong Kong.
“Gak perlu kebut-kebutan. Pasang selalu kacamata dan sabuk pengamanmu.” Kutarik nafas dalam-dalam menyimak pesan mama yang super duper. Kuakui bahwa mama adalah sosok perempuan perfeksionis. Semua yang akan dilakukan harus terencana dan dipersiapkan dengan sempurna. Apalagi saat diagnosa dokter telah valid menvonisku sebagai lelaki pengidap leukimia. Kanker dalam darahku sudah beranak pinak dan sulit untuk sembuh total.
“Kaka, satu lagi pesan Mama.” suara mama terdengar lagi setelah sekian menit bungkam.
“Jangan lupa minum obat!” Sanggahku sebelum mama melanjutkan ucapannya.
“Baguslah kalau kamu ingat.” Suaranya yang parau terdengar lega.
Aku yakin bahwa penyakit yang menjerat tubuhku saat ini akan memberi keindahan tak terduga suatu saat nanti.
Aku hanya tak ingin rapuh saat orang-orang terdekatku percaya bahwa aku bisa bertahan.
Menjelang pagi di pelabuhan Victoria…
Kulihat-lihat kembali hasil objek yang kupotret selama dua puluh delapan hariku di bumi Hong Kong. Memandangi foto-fotoku yang tampak gila membuatku malu sendiri. Entah kenapa tiap kali kuposisikan diriku di hadapan kamera, aku merasa memiliki kesempatan hidup yang lebih lama. Apalagi bila berfoto di tempat-tempat favoritku yang bersejarah.
I never thought that this moment will happen to me.
“Aaaaaaaaaaaa” aku ingin tetap bisa berteriak sebebas ini setiap pagi. Meski mungkin tidak akan lama lagi aku akan menutup mata dalam jangka yang lama. Selamanya.
Dengar laraku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Kulantunkan lagu band tanah airku dengan suara lantang. Keras tanpa beban.
Karena separuh aku…
Dirimu…
Aku tersentak. Ada suara lain yang meneruskan lirik lagu yang baru saja kunyanyikan. Kucari-cari sumber suara itu. Akhirnya kudapati seseorang sedang duduk di atas tembok seraya menggelantungkan kakinya. Sepertinya Ia memandangi matahari yang belum juga menampakkan diri. Aku yakin suara sopran itu berasal dari perempuan yang kini kulihat. Karena tak ada lagi perempuan lain selain dia pagi ini.
Pagi di tempat yang sama…
Mungkin ini adalah pagi terakhirku di Hong Kong. Ternyata Victoria mampu memberi daya tarik hingga aku tak ragu untuk menjadikannya pelabuhan hatiku selama sebulan di sini. Kuhirup udara pagi ini sedalam mungkin. Berharap menemukan sesuatu yang bisa kubawa pulang ke tanah air.
Pagi biar kusendiri
Jangan kau mendekat wahai matahari…
Suara sopran itu kembali terdengar. Aku yakin suara itu berasal dari orang yang sama. Perempuan yang kemarin pagi kuperhatikan sedang seorang diri. Spontan kuarahkan pandanganku ke tempat duduknya kemarin. Dugaanku benar, dia ada di sana. Penasaran. Kuhampiri ia dan kini aku telah berada tepat di sampingnya. Aku tak tahu apakah ia menyadari keberadaanku atau tidak.
Dingin hati yang bersedih
Tak begitu tenang mulai terabaikan…
Kulanjutkan juga lirik lagu yang ia nyanyikan. Seketika ia menoleh, heran. Sejenak kami bertatapan tanpa sengaja.
Hari yang cerah, Untuk jiwa yang sepi
Begitu terang untuk cinta yang mati
Ah… ucoba bertahan dan tak bisa
Spontan kami bernyanyi bersama-sama. Menyelesaikan lirik lagu band favoritku. Dan mungkin band favoritnya juga.
“Kau penggemar Ariel?” tanyanya setelah tak ada lagi lagu yang kami nyanyikan.
“Lebih tepat, lagu-lagunya,” Jawabku datar.
“Kamu?” aku bertanya balik.
“Yaaa begitulah” responnya santai. Kuperhatikan ia sekali lagi dengan seksama. Perempuan sopran yang sempat membuyarkan lamunannku ini ternyata juga orang Indonesia. Sepertinya ia bukanlah objek yang asing dalam ingatanku. Kuamati lagi foto-fotoku di kamera. Dan tepat sekali. Ia juga berada di sini saat kedatanganku pertama kali. Tanpa sengaja, ada postur tubuhnya di hasil bidikan kameraku.
“Kau sedang apa?” aku membuka percakapan.
“Aku sedang berikrar pada pagi.” ia menanggapi pertanyaanku.
“Dalam rangka?”
“Aku berjanji akan meminum obat-obatku secara teratur, kontrol kesehatan setiap bulan, dan menuruti semua nasehat Mama.”
“Memangnya kau sakit apa?”
“Gagal ginjal.” Ia mengucapkannya dengan lancar. Jujur, ada yang menyentil hatiku dari ucapannya. Selama ini obat-obatku hanya berdiam dalam tas kecilku. Ah, lagi-lagi aku teringat mama. Ada rasa bersalah yang menimbuniku. Mama pasti kecewa jika tahu kalau aku mengacuhkan nasehat mama dan semua obat yang dokter berikan. Besok aku kembali ke bumi pertiwi. Pertemuanku dengan perempuan sopran, ikrarnya dan nyanyiannya pagi ini membawaku pada satu kesimpulan. Aku telah melewatkan kesempatan untuk sembuh. Padahal, aku sangat tahu bahwa nyatanya aku belum siap untuk pergi.
Categories: ,

13 comments:

Dimohon untuk tidak membuat komentar yang berisi :
1. Kata-kata Kotor.
2. Sara atau Rasis.
3. Dan berkomentar Negatif lainya.

Komentar yang mengandung unsur diatas akan langsung saya hapus.
Terimakasih.