Monday 30 September 2013


Kalau ditanya apa keinginanku saat ini, pasti dengan yakin bakal kujawab pengen banget amnesia. Kaya’nya seru juga. Nggak tahu, terlalu banyak yang dipikirin, terlalu banyak masalah buat aku ngerasa agak nggak waras.

Handphoneku bergetar pelan, aku melirik ke layarnya sekilas. Rizal.
“Halo,” Sahutku.
“Sayang, lagi ngapain?” Aku mencibir dalam hati, pasti ada maunya.
“Lagi kerja lah. Ada apa?” Tanyaku.
“Malam ini aku nggak bisa ikut acara selamatan adikmu ya. Disuruh bos ke luar kota, ada urusan penting,”

Nah benar kan dugaanku. Selalu aja kaya’ gitu. Sampai-sampai aku sudah hafal dengan kelakuannya. Yang ada dipikirannya cuma kerja, kerja dan kerja.

Rizal selalu menomorduakan aku dalam hal apa aja. Kerjaan, keluarga, temannya, pokoknya semuanya. Anehnya, sampai hari ini aku masih bisa bertahan.

Dulu, aku memang sering ngambek. Tapi lama-lama jadi kebal juga. Jadi sekarang, aku nggak perduli lagi Rizal mau ngapain, mau kemana, dll. Mungkin seharusnya aku cari selingkuhan aja.

“Ya sudah nggak apa-apa. Hati–hati aja ya,” Sahutku dingin.

Jadi ingat acara nanti malam. Acara selamatan adikku Talita yang baru menyelesaikan S2 nya sekaligus acara tunangan dengan pacarnya. Seharusnya aku iri dengan acara ini. Tapi berharap Rizal memikirkan soal kelanjutan hubunganku sama dia, sama aja kaya’ menunggu matahari jadi dua. Nggak mungkin!

Harapanku cuma satu, mama nggak bandingin aku dan Talita. Wajar aja beda, Talita punya pacar yang kelakuannya manis banget sampai kadang aku jadi eneg atau lebih tepatnya iri. Sedangkan aku cuma punya Rizal yang syukur-syukur masih ingat hari ulang tahunku.

Sudah jam dua belas siang, waktunya makan siang. Dulu waktu awal jadian, Rizal selalu menjemputku buat makan siang. Sekarang, mimpi kali.

“Vit, mau makan apa?” Teriak Silva dari mejanya.
“Pengen nyobain rumah makan Sunda yang baru tuh,” Sahutku.
“Yang dekat lampu merah?” Aku mengganguk mengiyakan.

Aku beranjak dari kursiku. Banyak kabel berserakan di lantai. Kok nggak diberesin sih, runtukku dalam hati.

Tiba-tiba kaki kananku tersangkut salah satu kabel. Aku mengangkat kakiku dan berusaha melepaskan kabel yang tersangkut. Baru aja kaki kananku terlepas dari kabel, gantian kaki kiriku yang tersangkut. Dan nggak tahu kenapa, aku kehilangan keseimbangan.
Sekelilingku jadi gelap.


Kepalaku pusing. Aku membuka mataku perlahan. Silau, kupejamkan lagi mataku. Nggak lama terdengar suara ribut-ribut. Berisik, nggak tahu apa kepalaku sakit banget.

“Vit, kamu nggak apa-apa?!” Seorang ibu bermake up menor memegang tanganku erat.
“Mbak, apanya yang terasa sakit?” Kali ini seorang cewek berwajah imut mengelus-elus tanganku.

Aku melihat sekelilingku. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa aku dikerumuni banyak orang?
Duuuh, tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Aku memegang kepalaku. Apa ini? Kenapa kepalaku diperban segala?

“Jangan dipegang dulu, nak. Nanti jahitannya kebuka,” Aku menatap ibu bermake up menor tadi dengan muka bingung. Siapa orang-orang ini?
“Sya…!” Kali ini seorang cowok dengan dandanan eksekutif muda menyeruak dari kerumunan orang. Nafasnya terengah-engah. Sebelumnya dia mencium tangan ibu bermake menor.

“Syukurlah kamu sudah sadar,” Cowok itu langsung memelukku. Kontan langsung kudorong dia menjauhiku.
“Kamu siapa?” Tanyaku bingung. Semua yang ada disitu langsung terdiam. Aku menatap mereka satu persatu, kenapa nggak ada seorangpun yang aku kenal?
“Vit, ini aku! Rizal, pacar kamu!”

Nampaknya cowok tadi belum menyerah juga. Tadi dia bilang apa? Pacar?! Sejak kapan aku suka tipe cowok kaya’ dia. Cakep sih, tapi mukanya nyebelin banget!

“Vit, ini Rizal, pacar kamu. Masa kamu lupa,” Ibu bermake up menor menimpali.
“Sebenarnya kalian siapa?” Tanyaku. Ibu bermake menor langsung menangis. Seketika sekelilingku langsung gaduh, kepalaku jadi pusing lagi. Mendingan aku tidur aja.


Nampaknya tidurku lumayan lama. Waktu aku bangun, sekelilingku sudah sepi. Yang ada di depanku cuma cewek berwajah imut sedang membaca buku. Aku mencoba membaca judul bukunya, tapi nggak berhasil, pandanganku terasa kabur. Aku berdehem pelan.

“Mbak…” Buru-buru dia menyimpan bukunya.
“Minum ya, mbak,” Katanya sambil menyodorkan gelas berisi minuman kepadaku. Aku meneguknya sedikit.
“Mbak lupa sama aku juga?” Tanyanya sambil menatapku. Aku mengganguk.
“Aku Talita, adik mbak,” Sahutnya. Aku tersenyum.
“Cowok tadi yang ngaku pacarku, siapa dia?” Tanyaku penasaran.
“Itu mas Rizal, pacar mbak. Ibu tadi tuh mama kita,” Jelas Talita. Aku melongo. Pacarku?!
“Trus, aku kenapa ada disini?”
“Tadi mbak jatuh di kantor. Kepala mbak kebentur lantai, terus kening mbak juga robek, makanya diperban kaya gini. Kata dokter, mbak kena amnesia ringan,” Jelasnya lagi.

Aku terdiam dan berusaha mengingat. Tapi kepalaku malah tambah sakit.

“Sudah, mbak istirahat aja. Aku keluar sebentar ya, mbak. Mau manggil mama dulu. Pokoknya jangan mikirin apa-apa, istirahat aja,” Aku mengganguk sambil tersenyum. Eh… ibu make up menor tadi mamaku?

Aku bangkit dari tempat tidurku. Bosan juga dari tadi tiduran terus. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Uhhhhhh, cowok yang tadi lagi.

“Ada apa?” Tanyaku cuek. Nggak tahu kenapa aku sebel banget melihat mukanya.
“Sudah baikan?” Tanyanya sambil menghampiriku. Kontan aku langsung mundur, takut dia macam-macam lagi.
“Kamu sama sekali nggak ingat aku?” Tanyanya dengan muka memelas. Aku menggeleng dengan yakin.

Dia kemudian sibuk dengan handphonenya. Lalu tiba-tiba dengan muka bersemangat menunjukkan handphonenya kepadaku.

“Ingat nggak sama foto ini,” Aku memicingkan mataku. Foto apaan, nggak jelas.
“Ini kamu, ingat nggak?” Iya juga, memang ada aku di foto itu dan… cowok itu! Kapan aku foto bareng sama dia?
“Terus kenapa?” Tanyaku.
“Percaya kan kalau kita ini memang pacaran,”
“Nggak lah! Mungkin aja kamu ngefans banget sama aku, makanya ada foto kita berdua. Sudah ah, kamu pergi sana. Kepalaku pusing lagi, aku mau tidur dulu,” Usirku.

Aku mendorong cowok itu ke luar kamarku. Menyebalkan lama-lama ngobrol sama dia.

“Vit, aku mohon kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku memang pacarmu,” Dia masih aja terus memohon.
“Eh… dengar ya! Aku nggak ngerasa jadi pacar kamu, terus aku juga nggak pengen jadi pacar kamu. Jadi stop ngomong hal yang aku nggak ngerti!” Duuuh, kepalaku pusing lagi. Sial, nampaknya cowok ini harus kuusir jauh-jauh biar penyakitku nggak kumat terus.
“Kalian kenapa?!” Ibu bermake up menor eh… mamaku sama Talita tiba-tiba muncul.
“Mas Rizal gimana sih, kan tadi aku udah bilang jangan ngomong yang nggak-nggak ke mbak Vita,” Marah Talita ke cowok itu. Huuh, rasain!
“Maaf, Talita,” Bisik cowok itu pelan.
“Mama bawakan nasi uduk kesukaanmu. Dimakan ya,” Aku menuju tempat tidur dan kembali berbaring. Ibu itu eh… mama menyuapiku.

Cowok yang dipanggil Talita dengan sebutan mas Rizal itu masih sibuk kasak kasuk dengan Talita, nggak tahu apa yang mereka diskusikan. Aku nggak perduli.

“Ma, aku benaran pacaran sama cowok itu ya?” Bisikku perlahan.
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya mama masih sambil menyuapiku.
“Kalau gitu mama bilang sama dia, aku mau putus aja,” Mama berhenti menyuapiku.
“Kenapa, nak?” Tanya mama dengan muka serius.
“Nggak mau sama dia, orangnya nyebelin,” Sahutku. Lama mama menatapku.
“Sebenarnya mama nggak boleh ceritain ini. Ini rahasia. Tapi gimana lagi. Sebenarnya malam ini Rizal mau melamar kamu, tapi batal gara-gara kajadian ini. Jadi mama mohon, kamu jangan ngomong yang nggak-nggak dulu ya sampai kamu ngerasa baikan,” Kata mama pelan. Duuuh, dilamar sama cowok kaya’ dia? Jangan sampai deh!

Aduh! Kepalaku sakit lagi. Aku menjerit tertahan. Mama nampak panik, Talita dan Rizal bergegas menghampiriku. Sekelilingku nampak kabur.

Rasanya aku baru bangun dari tidur panjang. Kepalaku terasa berat. Barusan aku seperti mimpi aneh.

“Ini dimana, ma?” Tanyaku perlahan.
“Di rumah sakit. Sudah istirahat aja lagi,” Mama mengelus rambutku. Aku mengedarkan pandanganku. Ada Talita, adikku. Kok ada Rizal juga? Katanya malam ini dia mau ke luar kota. Terus acara selamatannya Talita gimana?
“Ma, acara Talita gimana?” Tanyaku panik.
“Jangan dipikirin, acaranya masih bisa diundur kok,” Sahut mama sambil tersenyum. Di belakang mama, Talita dan Rizal nampak kasak kusuk. Pandanganku beralih ke Rizal. Nggak tahu kenapa dia nampak takut-takut melihatku. Sebenarnya ada apa?
“Katanya mau ke luar kota? Nggak jadi ya?” Tanyaku ke Rizal. Lama Rizal terdiam. Dia dan Talita saling pandang.
“Nggak jadi, Vit. Diundur sampai kamu sembuh,” Rizal kemudian menghampiriku dan mengelus pipiku. Tumben dia jadi perhatian.
“Tadi aku mimpi, masa mama bilang kalau kamu mau ngelamar aku. Aneh banget mimpinya,” Kataku ke Rizal. Raut muka Rizal langsung berubah, sedang mama dan Talita saling pandang.

Aku menatap mereka satu persatu. Apa aku salah ngomong???

Sunday 29 September 2013


Apa kalian tahu siapa namaku? Coba tebak!, hmmm… hayo siapa?, (sambil garuk-garuk kepala), yang pasti namaku bukan Sarijem, bukan pula Marsinah atau Markonah, tapi namaku Ratna Permatasari. Biasa dipanggil Ratna. Seorang gadis kelahiran purbalingga, keturunuan Belanda. Wajahku biasa saja, tapi banyak yang bilang aku ini cantik, hehe… hidungku, tidak terlalu mancung, juga tidak terlalu pesek, standar kali ya?, wkwkwk… kulitku hitam manis, dan mahkotaku selalu dibiarkan terurai, kadang dihiasi bando atau satu jepit saja.

Sejak tiga bulan yang lalu, aku telah berganti seragam. Dari putih biru menjadi putih abu-abu. Senang sekali rasanya, aku telah menginjak remaja. Banyak orang bilang, remaja itu masa yang paling indah karena mulai mengenal yang namanya C I N T A. *Bilang sekali lagi!, CINTA!.

Aku belum pernah tuh ngerasain jatuh cinta, palingan hanya sekedar suka atau kagum semata. Kata orang jatuh cinta itu, seperti melayang-layang di udara dan banyak bunga bertaburan, malah ada yang lebih parah lagi, kalau sedang jatuh cinta, Pups kucing pun rasa cokelat. WHAT! SAMPAI SEGITUNYA?, entahlah aku belum pernah benar-benar jatuh cinta.
Sejak saat MOS (Masa Orientasi Siswa, aku mempunyai teman dekat atau bisa dibilang sobat karib. Mereka adalah: Avita Raina, Silva Prastiwi dan Talita Defani.

Setelah Bel istirahat berbunyi, aku, Avita, Silva dan Talita pergi ke kantin. Hendak mengisi perut yang mulai berdemo ria. Empat sekawan ini, hobi sekali jajan rames, hampir setiap hari kalau lagi istirahat jajannya itu rames dan sebotol teh Sisri. Enggak ada bosen-bosennya deh.
Tempat yang paling asyik kalau lagi jajan rames di kantin itu… bangku yang deretannya paling akhir, alias di pojok. Hmm… memojokan diri?.
“Mau pesen rames kan?” tanya pelayan kantin yang menghampiri kami.
“Mba, paranormal ya?” tanyaku serius.
“Bukan… bukan..” jawabnya.
“Memang kenapa gitu, Rat?” tanya Talita kepadaku.
“Mba ini, udah tahu kalo kita mau makan Rames” ucapku
“Haha, dasar oon!!!, yaiyalah, kita kan sering ke kantin buat jajan rames” Celoteh Avita.
“Hahaha..” terdengar tawa Talita dan Silva saling bersahut-sahutan.
“Ihh, kenapa kalian jadi ketawa sih?” gerutuku kesal.
“Abisnya kamu ituuu..” ucap Avita terpotong.
“Kamu apa?” tanyaku semakin kesal.
“Sudahhh… sudah, jadi nggak pesen rames?” tanya pelayan kantin yang ikut kesal.
“Hehehe… jadi donk mba, 5 porsi yah… teh-nya juga 5” seru Silva.
“Yaa, tunggu sebentar..” jawab pelayan kantin sambil berlalu.
“Kok lima sih, Na?, emang yang satunya lagi buat siapa?” tanyaTalita.
“Buat aku lahhh” jawab Avita dengan ekspresi datarnya.
“Glek..” aku hanya menelan ludah mendengarnya, 2 mangkuk rames akan dimakan Avita?, kadang-kadang satu mangkuk saja aku tidak habis. Apalagi 2 porsi, bisa-bisa aku mati kekenyangan.

Beberapa saat kemudian, rames yang kami tunggu pun datang. Tak perlu menunggu waktu lama Avita segera menyantap dua mangkuk rames-nya.

“Kok kalian semua, ngeliatin aku sih?, ada yang aneh ya?” tanya Avita.
“Udah berapa hari nggak makan, Vit?” tanya talita dengan mata sedikit terbelalak menyaksikan Avita yang makan begitu rakusnya.
“Tadi pagi juga sarapan kok” ucap Avita dengan ekspresi datarnya sambil terus makan. Tak ada kata yang mampu diucapkan lagi, kami hanya bisa menggeleng-geleng kepala ke kiri dan ke kanan beberapa kali, dan melanjutkan menyantap rames hingga tak tersisa.
“Mungkin kita harus buat program deh!” seru ku.
“Program apa?” tanya Silva.
“Program diet untuk Avita” jawabku.
Avita yang sedang menikmati teh-nya, kemudian tersedak. “Uhuk… Uhukkk..” Talita terlihat menepuk-nepuk pundak Avita.
“Wahh, iya… boleh juga tuh” timpal Avita.
“Aku nggak setuju ah” jawab Avita sambil memegang lehernya.
“Tet…Tet… Tettt” terdengar suara bel pertanda masuk istirahat berbunyi.
“Wahhh… gawat nih, kita harus buru-buru balik ke kelas. Udah istirahat kan pelajaran Matematika, mana gurunya killer lagi, kita nggak boleh telat nih.” ucap Silva.
“Lariii!!!” ucapku, Silva dan Talita serentak. Kita pun segera berlari menyusuri koridor-koridor kelas. Sialnya lagi, letak kelas kita itu paling ujung, kalau dari kantin tadi sih… cukup jauh!.

Nafas terengah-engah, keringat bercucuran disana-sini. Aduhhhh!, memalukan. Saat membuka pintu, terlihat bu guru sudah ada di kelas dan menatap aku, Silva dan Talita tajam. Setajam silet!!!, hohoho.
“Dari mana saja kalian, bukannya kalian sudah tahu. Kalau pelajaran ibu nggak boleh telat satu detik pun!” Bu Guru mulai menginterogasi.
“Maaf bu, tadi kita habis dari kantin” ucap Silva terdengar parau. Aku ingin tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresinya yang mengkhawatirkan.
“Teman-teman kalian juga banyak yang dari kantin, tapi mereka nggak telat. Lari keliling lapangan 10 kali!” ucap bu Guru sambil membentak.
“Tapi bu” ujar Talita.
“Nggak ada tapi-tapi, CEPAT!!!” ucap bu guru dengan suaranya yang memecah keheningan kelas. Dengan terpaksa kita pun segera berlari mengitari lapangan, aduh… mana ada yang olahraga lagi. Jadi bahan tontonan pula. Huhhh, sial… sial…

“Kalian ngerasa ada yang aneh nggak sih?, aku ngerasa ada yang kurang. Tapi apa ya?” tanyaku pada Silva dan Talita saat mulai berlari.
“Hmm, apa ya?” Talita ikut berpikir. Dahinya diriutkan. Ujung alisnya terangkat sedikit.
Untuk beberapa saat, berlari dihentikan. “AVITA!!!” teriak aku, Silva dan Talita bersamaan. Kita saling menatap, kok bisa-bisanya si males itu sampai terlupakan.
“Kita juga belum bayar rames!” ucap Silva sambil menepuk jidatnya.
“Terus sekarang kita harus ngapain?” tanya Talita sambil kebingungan.
“Heii!!!, cepat lari!!!” teriak bu guru di seberang lapangan. Dia berdiri di depan kelasku.
Dengan langkah yang gontai, kita pun mulai berlari lagi. Huftt… capeknya…
“Cayooo… tinggal satu keliling lagi. Ganbatte!!!” seruku. Dan “Praaaakk” aku pingsan!. Lalu beberapa saat kemudian aku merasakan tubuhku di angkat.

“Ratna… bangun!!!” ucap Silva.
“Bangunnn donk!!!” Talita juga ikut membangunkanku.
Hmmm, ternyata aktingku bagus juga, hehe… “Duuuaaarrr!!!!” aku segera bangun dan mengagetkan mereka berdua, ternyata benar dugaanku sekarang aku sedang berada di UKS.
silva dan talita hanya terbengong-bengong, jadi nggak kaget nih?, huh… talita dengan segera memegang keningku.
“Kamu nggak apa-apa kan rat?” tanya silva.
“Hahaha… aku tuh nggak apa-apa lagi. Tadi tuh Cuma pura-pura pingsan, hehehe” ucapku tanpa merasa bersalah.
“Huh, dasar… berat tahu ngangkat kamu ke sini. Kalau tahu kamu Cuma pura-pura, bakalan disuruh jalan dari lapangan ke UKS” gerutu Talita.
“Namanya juga pingsan mana bisa jalan donk” seruku sambil menahan tertawa.
“Lagian kenapa kamu kok pura-pura pingsan sih?, bikin khawatir aja tau” gerutu silva.
“Biar bisa lolos dari pelajaran mengerikan itu, hehe… Peace deh” ucapku.
“Oh, ya… kalau Avita dimana?, dia udah di kelas?, atau masih di kantin?” tanyaku beruntun.
“Nggak tahu tuh, kita ke kantin aja gimana?” ucap Silva.
“Ya, udah… yukk!!!” jawab talita.

Waktu di kantin, kita tidak melihat satu pun. Lalu Talita nekad bertanya pada si mba pelayan tadi.
“Mba, liat temen kita yang satunya lagi nggak?”
“Lagi cuci piring”
“Hah?, kok bisa mba?” tanyaku kaget.
“Tadi kan kalian nggak bayar, malah kabur gitu aja. Terus ketinggalan satu, ya udah sebagai tebusannya. Dia… mba suruh cuci piring” Jawabnya ketus.
“Aduh, maaf ya mba kita lupa. Nih uangnya… bebasin temen kami mbak” Ujar silva sambil memberikan uang Rp. 50.000.
“Baiklah, tunggu sebentar” Katanya sambil berlalu.
Beberapa saat kemudian, kita bertemu dengan Avita.
“Kalian kok ninggalin aku sih?” gerutunya.
“Maaf Vit, kirain waktu kita lari itu… kamu juga ikut lari” ucapku sambil memegang tangan Avita yang basah.
“Hmm, iya deh… yuk, balik ke kelas” Ucap Talita.

Sepanjang perjalanan ke kelas, aku ceritakan semua peristiwa yang terjadi. Avita pun terpingkal-pingkal dibuatnya. Hari ini adalah hari yang tak akan pernah terlupakan, sederet kegokilan pun terjadi.
Kebahagiaan yang paling indah, ketika kita bisa bersama sahabat.

Dunia puber memang sangat menyenangkan. Rasa ingin tahu akan sesuatu yang baru juga sangat begitu besar. Coba ini, coba itu semuanya dijabanin. Kadang kalanya ada di posisi yang benar dan juga kadang-kadang di jalur yang salah. Gue sedikit mau berbagi memori terburuk dalam kehidupan percintaan gue. Saking buruknya kalau gue nanti diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berengkarnasi, gue mau file kehidupan gue yang satu ini didelete aja. Kenapa harus didelete? “timbul pertanyaan di otak kalian”.
“Ya iyalah harus dihapus, coba kalau tidak dihapus, gue bakalan mengalami kejadian mengerikan sepanjang hidup gue dua kali.
“Dua kali mas dan mba bro, dua kali”.
“Apa Tuhan tega kasi gue penderitaan itu dua kali?”. Bertanya pada diri sendiri (kaya orang gila aja).

Untuk mengobati isi fikiran kalian yang sejak dari tadi bertanya-tanya file mana sih yang mau gue hapus dari hidup gue. Baca dengan seksama cerita waktu gue SMK dulu. Ingat setelah kalian baca kisah ini jangan menganggap gue Abnormal ya. Gue tekankan sekali lagi gue lelaki NORMAL.

Alkisah pada suatu waktu ketika tubuh gue masih diselimuti pakaian putih abu-abu. Masa peralihan dari bercelana pendek ke sekolah menjadi celana panjang. Masa ketika suara masih cempreng berubah menjadi suara ngebass berat. Serta tonjolan ditengah-tengah leher juga mulai keluar. Dari rambut belah tengah yang yang mengkilat-kilat karena dilumuri minyak goreng oleh ibu sebelum pergi ke sekolah berubah menjadi rambut kering acak-acakan kerena tiupan angin khas pete-pete (angkot) pagi saat berangkat sekolah.

Semuanya berubah total. Dan hal paling gue senangin juga yaitu perubahan dari senang bolos sekolah hanya untuk maen Modoo Marbel di tempat rumah, berubah menjadi senang naksir cewek. Yups, naksir cewek hal terindah kedua yang gue rasa paling menyenangkan setelah nyontek saat ujian ga’ ketahuan sama pengawas.

Menurut filosofi yang gue dapat dari teman gue yang sudah berpengalaman di dunia pacaran sejak kelas 6 SD, cinta itu adalah kompetisi (gila dari kelas 6 SD aja sudah berkutat di dunia naksir menaksir cewek, gimana gedenya ya?. Bisa-bisa ibu kantin aja digebet sama dia. Teman yang aneh tapi keren). Menurut penggalan motivasi yang pernah gue baca bahwa “Pengalaman adalah guru terbaik” mesti diubah menjadi “Pengalaman orang lain adalah guru terbaik”. Maka dari itu gue sedikit-sedikit mencoba menerapkan metode yang diajarkan oleh teman gue tersebut [sorry nama teman gue ga’ bisa gue sebutkan karena sesuatu dan lain hal. (takut dituntut bayar royalty karena nyebutin nama dia ditulisan gue)]. Pelajaran pertama yang gue dapat dari teman gue itu adalah pada saat kita naksir cewek hal yang harus kita lakukan adalah cari tau siapa namanya (ya, iyalah pasti harus tau namanya dulu). Kemudian masuk ke fase PeDeKaTe. Ditahap inilah paling susah, bermodalkan mantra Papa kamu polisi yaa? (berharap dijawab ko’ tau), gue dekatin si cewek.
“Eheemm”. Basa-basi sebagai pembuka percakapan.
“Iya ka”. Dehemanku dibalas ramah.
Gue kaget, dia tau kalau gue ini seniornya. Awal yang bagus. Paling tidak dia kenal gue.
“Talitha ya?” Tanya ku.
“Ia, ada apa ya ka?”. Balasnya dengan senyum manis.
“Gini talita, bapak kamu cowok ya?”. Salah ngomong akibat grogi.
“Ya, iyalah ka’. Kakak becanda nih”. Mukanya agak kesal.
“Benar juga ya”. Gue jadi bingung sendiri.

Dengan muka yang agak kesal dia pergi. Langkah pertama gatot (gagal total). Gue kesal pada diri sendiri. Kenapa gue ga’ berkutik di depan cewek. Selang beberapa minggu gue baru tau kalau ternyata Talita udah punya MONYET, si Anas, simuka pas-pasan kalau diobral juga ga’ bakalan laku mukanya. Gue piker kalau mukanya digratisin juga ga’ ada yang bakalan mungut. Tapi satu hal yang buat Talita mau jadi pacar Anas the beast yaitu motor Yamaha Vixion yang menjadi daya tarik Anas. Cewek kampret.

Cerita cinta tentang Talita berakhir tanpa dia tau kalau gue suka sama dia. Biar aku, Tuhan, dan buku diary pinkku yang tau.

Pasca tragedi CIDAHA ke Talita. Beberapa bulan hati gue lowong. Sampai gue temukan cewek pengalih dunia gue. Avita. Manis-manis gulali, itulah pendeskripsian buat Avita. Teman sejawat di kelas III tapi beda kelas. Dia berada di kelas KAKAP. Sementara gue berada di kelas spesialis tukang bongkar PC ala tukang TKJ.

Sebenarnya gue kenal Avita itu sejak dari kelas I, tapi gue baru naksir baru di kelas III. Cinta memang ga’ bisa ditebak. Berhubung kita sudah saling kenal, jadi proses malu-malu bisa dihilangkan dengan cepat. Proses PDKT berjalan sesuai rencana. Gue bisa tebak kalau Dinda suka sama gue. Gue juga tau kalau Dinda bukanlah tipe cewek pantat bensin. Buktinya gue ajakin jalan pake sepeda aja dia mau, cewek yang perfect.

Belum sempat gue bilang suka sama Avita, kegalauan menghampiri. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue ada yang naksir gue duluan. Gue gamang.

Cewek misterius yang khilaf naksir gue itu bermula saat gue asyik di rumah lagi kerjain PR Matematika (lebih tepatnya nyalin dari buku teman ke buku gue, karena gue ga mau repot-repot mikir, toh hasil mikir gue juga nantinya sama dengan hasil dari pemikiran teman gue, jadi tinggal salin aja punya dia, lebih simple). Hp gue berontak berkali-kali akibat gangguan dari nomor baru misterius. Tiap kali gue angkat pasti dimatiin. Begitu seterusnya.

Dua hari berturut-turut nomor misterius itu terus meneror. Gue jadi dongkol. Gue kirimi dia somasi lewat sms.

“Kalau berani ngomong dong”. Isi sms gue dengan nada yang agak kesal.
Ga berapa selang dia ngebalas sms gue.
“Sorry, kalau udah ganggu”. Dia ngebalas ramah.
Dengan hati masih agak dongkol gue replay sms dia lagi. “Loe siapa, kalau ada perlu jangan braninya CUMI (cuman miscall) doang”.
“Skali lagi maaf, aku Vita”. Balasnya dengan nada yang masih ramah.
“Ohh, dapat nomor aku dari mana?”. Gue masih ngebalas dengan nada ketus.
“Kalau aku kasih tau kamu jangan marah ya?”.
“Ia”. Jawab gue singkat.
“Aku dapat nomor kamu beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku liat kamu beli pulsa di dekat rumah aku, trus aku ambil dech nomor kamu ma penjaga counternya”. Dia menjelaskan secara rinci.
“Ohh”. Gue balas dengan 3 huruf.
Walau gue ngebalas smsnya dengan singkat padat dan tidak jelas, dia tetap sabar menghadapi sms-sms super singkat gue. Sms terakhirnya ga’ gue balas, karena nonton acara favorit gue MALAM MINGGU MIKO 2 lebih penting dari pada ngebales sms orang yang ga’ gue kenal sama sekali.

Walaupun gue cuek abis, dia tetap rutin ngesms gue. Pagi, siang, malam smsnya terus-menerus menyerang, kayak minum obat aja smsnya datang 3 kali sehari.

Karena gue ga tegaan orangnya, dan gue juga ga’ mau dicap orang yang sombong karena ga’ ngebalas sms dia. Maka dengan etika yang baik gue mulai ngebalas smsnya. Gue sikat abis setiap pertanyaan yang dia sodorkan. Dia pun begitu setiap pertanyaan gue yang muncul di layar Hpnya dia telan dengan lahap. Untuk sejenak PDKT gue ke Avita terpending.

Hampir sebulan komunikasi gue sama Vita hanya lewat jari-jari yang menekan tombol huruf yang ada di handphone masing-masing. Setiap kali gue nyuruh dia nelpon dia selalu nolak. Atau gue mau nelfon dia punya 1001 macam alasan buat nolak telfon gue. Gue mulai mikir negatif ke Vita. Puncaknya gue ajakin dia buat ketemuan. Dia nolak. Gue sedikit mengancam kalau dia ga mau ketemu sama gue, gue ga bakalan gubris sms dia lagi. Dia tetap tak bergeming. Dia tetap menolak untuk bertatap muka dengan gue.

Gue mulai curiga. Kalau bukan setan pasti giginya mancung ke depan kaya orang yang duduk dibelakang gue waktu di 12 tkj 1, jadi dia malu untuk ketemu gue. Kemudian dia ngirimi gue sms.
“Aku suka sama kamu, tapi aku malu untuk ketemu ma kamu”. Isi smsnya.
“Kenapa mesti malu ma gue, gue ga’ ngegigit ko’”. Balas gue.
“Mau dong digigit”. Dia ngebalas dengan nada bercanda.
“Kalau emang kamu suka ma gue, mesti ketemu dulu. Gue ga mau beli kucing dalam karung. Ga ada yang jelas”.

Gue dan Vita janjian untuk ketemuan malam jumat, kayak mau ngepet aja ketemuan di malam jumat, tepatnya di depan warnet daerah rembang bodas.

Karena gue ga mau terjadi apa-apa gue ajakin teman gue untuk ikut. Sampai di TKP gue ga ngeliat ada cewek yang berkeliaran di sekitaran warnet. Yang ada hanya gerombolan Satpol PP yang asyik diskusi sambil ngisap rokok sebatang ramai-ramai.

Gue ga ngeliat orang yang gue cari, gue putusin untuk nelfon dia. 2 kali gue telfon dia cuman respon lewat sms.
“Aku uda ada di warnet”. Isi smsnya.
“Di sebelah mana. Gue juga uda ada di sekitar warnet”.
“Aku di dekat pohon yang di dekat lapangan pesawat”. Dia ngebalas sms gue.

Gue ngga’ ngebalas smsnya. Handoyo teman gue langsung tancep gas motornya menuju ke arah lapangan pesawat yang persis berada di sebelah lapangan bola. Sampai disana gue cuman liat orang yang duduk di atas motor. Jarak kami dan dia cuman sekitar 10 langkah. Gue masih bingung sampai sekarang cewek yang gue cari ngga’ muncul-muncul.

Tak lama kemudian sosok orang yang berada di atas motor yang berada di depan gue dan handoyo menghampiri.
“bahtiar ya?”. Sosok tersebut langsung menyodorkan pertanyaan.
“Bukan, tapi dia”. Handoyo menunjukkan jarinya ke arahku.
Gue kaget setengah mampus ternyata sosok tersebut makhluk jadi-jadian. Manusia setengah Pria dan setengah wanita alias BENCONG.

“Ia, gue bahtiar”. Gue mengiyakan tuduhan handoyo.

Dengan celana jeans super ketat yang dia kenakan, serta baju kaos oblong putih dan berkerah segitiga ala Olga Syahputra yang melorot hingga dadanya kelihatan. Mukanya yang sangar yang berusaha dia imut-imutin tapi malahan jadi mirip tukang parkir di pasar yang biasa gue liat. Gue lihat juga kulitnya yang hitam pasti keseringan maen layangan jadi bisa seperti itu, berbanding terbalik dengan wajahnya yang putih mengkilat kayak udah dicat pake Avitex. Atau mungkin dia pake tepung terigu yang dia padu pake air santan supaya bisa kelihatan putih. Tapi itu semua malah bikin gue mau muntah darah ngeliatnya.

Dia sodorkan tangannya ke arah gue, “Bahtiar kan?”. Bibir tak beraturannya kembali bergerak diikuti oleh sebuah pertanyaan.

“Ia”. Sambil salaman gue mengiyakan lagi pertanyaannya.
Sejurus kemudian dia memperkenalkan diri “Aku Vita”.

Pranggg, ubun-ubun gue mau pecah setelah mendengar pengakuannya kalau bencong bermuka tukang parkir ini bernama Vita.

“Mati gue, selama ini gue smsan ma bencong”. Gue menyumpahi diri gue dalam hati. Sementara itu handoyo hanya bisa cengengesan nahan ketawa.

“Thanks ya udah mau datang kesini”. Kata si bencong, mukanya sambil dia imut-imutin mirip Annisa cherrybelle. Sumpah gue mau kencing di celana liat senyum yang gue rasa lebih mirip pocong lagi boker. Mending gue ketemu pocong skalian dari pada bencong bertampang mesum ini.

“Fisik aku emang kayak cowok, tapi hati aku cewek tulen ko”. Pertanyaan gue dia jawab dengan jawaban yang bisa bikin gendang telinga gue berdarah-darah.
Handoyo terus menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangannya. Gue cubitin pinggangnya, semoga handoyo ngerti kalau itu kode untuk segera cabut.
Gue menyumpahi diri gue sendiri “Mati gue, mati gue”.
Gue terus nyubitin handoyo. Dia bereaksi. Kayaknya dia ngerti signal yang gue kasih ke dia.
“yar, ayo balik, nanti bokap gue nyariin motornya”. Handoyo mengajak untuk pergi dari hadapan bencong bertampang Annisa cherrybelle tapi versi bencongnya.
“Ayo”. Gue langsung mengiyakan.
“Kita balik duluan ya”. Gue pamitan sama makhluk aneh itu.
“Oh, ia”. Dia ngebalas pesan pamit gue dengan senyum termanisnya yang bisa bikin gue gegar otak ngeliatnya.

Di jalan Handoyo hanya bisa tertawa terbahak-bahak setelah menjadi saksi mata peristiwa terpahit selama hidup gue. Terus gue menyumpahi Handoyo agar kejadian memalukan tersebut jangan sampai bocor keteman-teman lain. handoyo mengiyakan sambil tertawa tanpa henti.

Sampai di rumah, si bencong kampret itu kirim sms ke Hp gue.
“Aku senang banget dech bisa ketemu kamu tadi”. Isi smsnya yang buat gue bisa masuk UGD.
Gue ngga’ ngebalas smsnya. Karena takut digangguin dia terus, akhirnya sim card gue patahin dan gue ganti yang baru. Akhirnya gue terbebas dari jerat bencong bermuka mesum.
Dan gue baru sadar juga kalau nama Vita itu ternyata SUDAHLAH..

Gue nyesel banget. Gue pending nembak Dinda hanya untuk seonggok makhluk bernama Vita.
Besoknya gue mandi kembang tujuh rupa buat ngilangin kutukan si bencong berwajah tukang parkir.

Pecundang… pecundang… pecundang, berkali-kali kata-kata itu teriang-iang di telingaku, entah dari mana asalnya, melintas saja bak kereta api listrik yang membelah pulau jawa. Aku terduduk disebuah pantai, sendirian, sembari kata-kata itu tak henti-hentinya membahana di relung jiwaku, sempat ku bertanya kepada couple seusiaku yang kebetulan melintas di depan tempatku duduk.
“Mas, mbak, ada dengar yang bilang pecundang, pecundang ngak?” tanyaku ke mereka berdua.
Mereka berdua hanya geleng-geleng kepala dengan ekspresi wajah keheranan, lalu pergi meninggalkanku sendiri. Setelah tak beberapa jauh dariku mereka berdua tertawa terbahak-bahak, sambil berangkulan mesra bak seorang pengantin baru, samar-samar memang terdengar suara cibiran.
“Dasar sinting ya sayang… hahahaha” ucar lelaki tersebut, disambut cekikikan geli bak kuntilanak suara gadis pacarnya.
Aku berang juga, kuambil ranting kayu yang tergeletak di sampingku, dengan segenap kekuatan kulempar couple kurang ajar tadi,
“Woooyyy, sini kamu, kenapa lempar-lempar” tiba-tiba lelaki tersebut berbalik dan mengejarku, langkah cepatnya membuatku tersentak, beruntung motor bebek merahku terpakir siaga di pinggir jalan, dengan sigap aku langsung kabur dari lelaki sok pahlawan yang ingin minta puji dengan pacarnya tersebut. Sejenak ku menoleh ke belakang kulihat dia berteriak-teriak kencang, sedangkan sang pacar terlihat bengong melihat pacarnya yang seperti orang sinting yang tak kalah dengan orang sinting yang barusan mereka bicarakan.

“TIIINNN…”
Aku kaget dengan suara klakson panjang sebuah mobil yang berada di depanku, hampir saja aku tertabrak mobil gara-gara keasikan melihat lelaki tadi.
“Wooyyy… kalau jalan itu lihat-lihat!!!” ujar pengemudi mobil tadi berang, aku hanya membalasnya dengan senyum-senyum masem, ditambah bonus nyengir kuda yang khusus kuberikan ke pengemudi tadi, yah mungkin sebagai pengganti permintaan maaf.
“Arghhh… sial benar aku hari ini…” gumamku keras…
Rencana mau refreshing menenangkan otak malah jadi begini, pagi tadi aku baru saja mendapat berita, seorang gadis yang kutaksir, si Rizqi baru saja jadian dengan cowok gagah ganteng bermotor besar bernama anggi, dan parahnya lagi, mereka jadian tepat sehari setelah Rizqi menolakku,
“hiks… kejam sekali kau Rizqi” gumamku yang langsung disambut dengan dengung suara hatiku yang bekata “lebayyy…”.

Jomblo… jomblo… jomblo… lagi-lagi suara aneh membahana di telingaku, kali ini dengan kosa kata yang berbeda, JOMBLO. Yah, itu yang diteriakkan oleh suara yang berulang kali aku dengar barusan. Dan kebetulan lagi-lagi ada couple yang sedang berboncengan mesra di sampingku, berpelukan dengan motor besar yang menjengkelkanku.

“Woouuuy… kenapa bilang-bilang jomblo sama aku..” ujarku keras kemereka berdua
Mendengar hal tersebut, keduanya saling bertatapan satu sama laiinya, dengan lagi-lagi wajah yang keheranan, heran ada orang sinting yang berteriak kepada mereka. Lalu dengan sedikit menaikkan gigi motor, dan menggasnya dengan kencang, lelaki tersebut dengan motor besar dengan mudahnya meninggalkan aku jauh dengan si bebek yang sudah berusia uzur ini.

Karena tak jelas arah dan tujuan, aku akhirnya menuju sebuah warnet kecil yang berada di pinggir jalan, aku masuki salah satu bilik, membuka Facebook untuk sekedar mengecek status dan pemberitahuan terbaru, siapa tahu pdkt aku beberapa hari yang lalu sukses besar. Yah, sebuah pdkt yang kulakukan ke beberapa gadis dengan mengirimi mereka dengan pesan-pesan yang bersahabat, atau bisa dibilang sok akrab.

“What…the…” aku tersentak melihat profil facebookku, tak ada tanda-tanda merah di sudut kiri atasnya, tak ada pemberitahuan?, satupun?.
Aku coba cek sebuah status yang kubuat tadi pagi yang tentunya sangat puitis dan bermakna dalam, dengan harapan banyak yang nglike.. tapi ternyata.
“What… the…” lagi-lagi bahasa inggris tersebut terlontar dari mulut bauku, mungkin… karena seharian ini aku belum gosok gigi. Dan ternyata memang kejadian, tak ada yang menlike statusku, memang ada dua yang men-like aku cek dan ternyata itu aku sendiri dan sebuah akun palsu yang aku buat, ironi sekali.
“Huaaaaaa…” aku teriak sekencang-kecangnya diwarnet tersebut, tapi heran juga, tak ada yang menegorku. Oh iya, aku teriak dalam hati barusan.
Aku lihat beranda sore itu, seperti biasa couple alay memasang foto-foto mesra mereka. Segera saja aku klik “berhenti berlangganan” status tersebut, bagaimana tidak, hatiku perih boy melihat itu, kesal, iri, sedih, kasihan? kasihan terhadap diriku sendiri tentunya. Yang bercampur aduk kedalam hati yang mulai layu tanpa harapan ini
Sebuah lagi status yang bikin aku muak sore itu, seorang pemuda yang memajang kesuksesannya dalam sebuah kejuaraan. Aku ingat beberapa hari yang lalu, aku sudah berusaha sebaik-baiknya membuat 10 alternatif cerita yang kukirim ke 10 lomba cerpen, yang salah satunya berisi cerpen pelampiasanku ke Rizqi, tentang cerita perjuangan cintaku yang bertepuk sebelah tangan ke gadis itu, dan hasilnya nihil. Bahkan masuk sepuluh besarpun aku tak mampu, padahal aku sudah bercerita dengan teman sesama penghayalku akan berangkat ke singapura dari hadiah salah satu lomba cerpen tersebut, namun ternyata gatot… gatot… gatot.. gagal total, heran juga lagi-lagi kata kata dengan kosa kata yang sama teriang-iang ditelingaku, seperti mengejek dengan kerasnya.

Tak sampai disitu, setelah menulis status pelampiasan, aku ikuti lomba design cover, siapa tahu ini adalah takdirku, sebagai designer cover kawakan. Aku ikuti beberapa lomba yang tertera di beberapa halaman website, meski beberapa sudah expired, aku tetap mencoba dan ternyata, selamat…!!! anda gagal… gagal.. gagal…, masuk nominasi 20 besarpun tidak, memang benar-benar what the…

Ternyata, rencanaku menenangkan pikiran di warnet lagi-lagi rusak gara-gara hal tersebut, bukannya refresh melihat photo profile ciamik penghuni facebook, malah megorek luka lama kegagalanku.

Aku berjalan dengan lunglai ke arah pintu keluar warnet, badanku lemas, tak bersemangat, tak berdaya dan lima L, letih, lemah, lunglai, loyo dan lesu… seluruhnya bercampur aduk di dalam diriku, aku duduki motor bebekku, namun aku terkejut, sebuah suara merdu nan ayu memanggilku dari belakang
“Mas…mas…” ujar suara tersebut, aku menoleh ke belakang, kali ini suara tersebut teriang-iang di telingaku, sebuah suara yang sama, kuyakinkan lagi pendengaranku, apakah itu hanya suara hatiku lagi seperti yang tadi.
“Mas..mas…” ternyata benar bukan, itu datangnya dari seorang gadis berwajah manis dengan rambut hitam lurus sebahu dan wajah manisnya, ia tersenyum ke arahku.
“Wah… apa mungkin dia ingin jalan denganku? Atau mungkin ia ingin minta antar kepadaku?, atau jangan-jangan…”
Belum lagi khayalan tinggiku berspekulasi ia berkata dengan suara lembut yang manja.
“Mas… uang warnetnya belum dibayar…” ujarnya pelan.
“What..the…” lagi-lagi aku mengucapkan kata-kata itu, hancur sudah, hancur sudah, tega sekali kau memberi harapan padaku wahai bidadari cantik. Kesal dan gundah gulana yang kurasakan semakin bertambah dengan senyum renyah dari bibir manis gadis penjaga warnet tadi, seadainya senyum itu bisa terus kunikmati setiap harinya, owh… gustii…
Aku serahkan uang 3 ribu rupiah sesuai dengan tarif warnet tadi, lalu iapun pergi dengan cuek kembali ke dalam warnet tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Kustarter motor bebek tuaku lagi, rencananya aku mau pulang, namun baru beberapa meter aku pergi dari warnet terkutuk tersebut, motorku oleng, seperti kehilangan keseimbangan, ada apa ini?
Aku berhenti di pinggir jalan, lagi-lagi tepat didepan couple yang lagi duduk berduaan di bawah pohon rindang tersebut..
Owhh… kenapa seharian ini aku disindir terus-terusan ketemu couple?, apa salahku wahai gusti…? kenapa kau biarkan aku menjomblo seperti ini.
Kembali ke permasalahan awal, dan tinggalkan doa lebayku tersebut, aku cek ban depanku, nothing problem?, lalu ke ban belakang ku, dan..
“What the…” ban belakangku kempes, dan terpaksa aku dengan lunglai mendorong motor ini ke bengkel terdekat. Yah, terdekat, sekitar 2 kilometer dari tempatku sekarang. Diiringi lirikan tajam bak mata elang dari orang-orang di sekitar yang melihatku dengan aneh, aku cuek saja, toh tak ada yang mengenalku, namun…
“Motornya kenapa?” ujar seorang cewek yang berada di depanku
Ku dongkakakan kepalaku ke depan, “Rizqi?” Aduh… mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengan gadis pujaanku ini, namun aku segera teringat ia sudah punya pacar, sehingga dengan gaya cool dan dingin aku menjawab pertanyaan gadis tersebut.
“Ehmmm… tidak apa-apa, hanya kempes sedikit” jawabku tegas dan sok cool sembari tetap bejalan melewatinya.
“Aku bantu ya..” jawabnya pelan, owh gustii… kenapa kau memberikan aku anugrah atau cobaan yang begitu berat seperti ini?, dan lagi-lagi dengan gaya cool aku anguk pelan tanda setuju.

Kami berdua duduk berdampingan ditemani bau pembakaran ban dan oli-oli di bengkel tersebut, kami berdua berbincang ringan, aku tetap dengan tutur ucap yang cool setiap kali menanggapi pertanyaannya,
“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan kepadamu” tiba-tiba ia berbicara pelan, pelan sekali, aku terhentak, meleleh juga mendengaranya,
“Ada apa?” jawabku
“Aku sebenarnya… ehmm… sebenarnya..” owh gusti dia berbicara dengan begitu pelan, sebenarnya ada apa?, apa yang ingin dia katakan kepadaku?, apa mungkin dia ingin bilang… “sebenarnya aku suka padamu”. What the… indah sekali… owh…
“Sebenarnya aku suka…” oh my god… betulkan.. betulkan…, dia suka sama aku, ahahaha benar sekali, sorak sorai bergemuruh dalam hatiku, wajahku bersemu.
“Aku suka dengan cerpen tulisanmu…” ahhhh… apa? dia tadi bilang aku suka denganmu kan? Apa aku tak salah dengar?, lalu aku coba pastikan kata-katanya tadi.
“Apa tadi?” tanyaku dengan segenap penasaran, rasa cool ku hilang sudah.
“Aku suka dengan cerpen yang kamu tulis, aku tak sengaja baca di pembungkus gorengan ketika aku sedang jalan sama Anggi” jawabnya panjang lebar…
Apa? Pembungkus gorengan? Cerpen? Berarti bukan suka denganku? Suka dengan cerpenku? Owh tunggu dulu? Bagaiman bisa cerpenku bisa jadi pembungkus gorengan? Apa mungkin kopian yang aku buang ke kotak sampah bisa sampai ketempat penjual gorengan?
“Ehmm.. Rizqi, memangnya pembungkus gorengan yang mana?” tanyaku menyelidik
Ia keluarkan sesuatu dari saku celananya, dan memberikan sebuah kertas lusuh yang sudah berbekas minyak gorengan aku baca disana, yah… benar ini cerpenku?, bagaimana bisa begini? Kok aku tak diberitahu dahulu?, kenapa dimuat di majalah ini tanpa sepengetahuanku?, dan jelas-jelas disana tertulis dan terpampang namaku.

Olalala… baru aku sadar, disana aku menulis alamat yang salah, dan juga baru aku sadar nomor handphone yang kuberi ke majalah tersebut juga nomor handphone yang lain, segera kurogoh dompetku, kuambil kartu memori yang satunya lagi, aku pasang dan.. sebuah pesan masuk kehandphoneku.
Dan tertulis disana, “selamat tulisan anda lolos seleksi dan akan diterbitkan pada majalah kami edisi bulan ini, hadiah akan kami kirimkan setelah anda mengkonfirmasi pesan singkat ini, terima kasih..”
“Owhh… yeaahhhhhhhh…” ujarku keras dan panjang, kali ini tak kuhiraukan lagi orang-orang yang melihat ke arahku, aku pegang tangan Rizqi yang lembut itu sembari tersenyum merkah ke arahnya, dan ia pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
“Ternyata aku bukan lelaki pecundang, Rizqi…” ujarku pelan
“Memang bener, kamu itu bukan seorang pecundang Rizal…, kamu itu seorang pemenang, pemenang segalanya termasuk hatiku” balas Rizqi pelan dengan wajahnya yang memerah, aku terkaget mendengar hal tersebut, namun rasa haru yang berlebihan membuat aku tak mampu berkata-kata, hanya tangannya saja yang semakin erat kugengam. Owh… indahnya anugrah darimu tuhan…

Suasana bandara sore ini sepi seperti pertokoan yang sudah mau bangkrut. Laki-laki dengan wajah penuh penantian sedang duduk di kursi panjang ruang tunggu. Kepalanya mengintip lagi jam tangan sambil menggerak-gerakkan kaki sebelah kanan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mendengarkan pengumuman dengan seksama. Tapi sedari tadi pesawat yang ditumpangi oleh pamannya tidak juga disebut. Harusnya 5 menit yang lalu pesawat itu sudah mendarat di bandara ini.

Dia menolehkan kepalanya 45 derajat ke arah kiri, dilihatnya gadis berbaju biru yang duduk di bangku barisan depannya. Sesaat gadis itu menoleh ke arahnya sambil tersenyum lalu menunduk sibuk dengan gadget yang ada di hadapannya. Aduhai, sorot matanya tajam dan senyumnya semanis gula jawa. Sontak pria itu tersenyum riang sekali seperti lupa kalau ia sudah duduk hampir 15 menit menunggu kedatangan pamannya. Dan mungkin sekarang ia juga sedang khawatir, khawatir gadis itu akan dikerubungi semut kalau senyumnya semanis itu.

Pria itu sepertinya mulai kecanduan dengan pemandangan indah pada arah kemiringan 45 derajat di depannya itu. Dia mencuri pandang ke arah gadis itu lagi sambil menahan penasaran. Penasaran ingin menghampirinya dan mengatakan “Hai, aku Rizal. Kamu siapa?”. Tapi rasa penasarannya masih terbelenggu oleh gadget yang ada di hadapan gadis itu. Si gadis terlihat menggerakkan tangannya dengan lincah di atas gadget lalu sesekali tersenyum dan tertawa sendiri.

Sudah hampir 30 menit pria itu duduk sendirian seperti orang hilang di bandara. Untung ada si jelita manis yang setiap saat bisa ia lihat senyumnya. Ia melirik ke arah si gadis lagi dan untuk lirikan yang kesekian kali ini gadis itu mendongakkan kepala, mengarahkan bola matanya ke arah pria itu lalu mengembangkan senyum. Untuk sepermilidetik pria itu seperti terhipnotis dan rasa penasaran dalam hatinya semakin membuncah. Senyum gadis itu seperti memberikannya kekuatan untuk mengeluarkan seluruh keberaniannya dan memutuskan untuk mengakhiri rasa penasarannya.

Si pria menarik nafas dalam-dalam lalu berdiri dan berpura-pura meliuk-liukkan badannya ke arah kiri dan kanan seperti sedang meregangkan anggota badannya. Ia melangkahkan kaki ke arah 45 derajat dengan jantung berdegup kencang seperti bedug yang sedang ditabuh menjelang adzan. Mulutnya mulai komat-kamit menghitung langkah kakinya yang 15 langkah lagi sudah sampai di hadapan gadis itu. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam…”, batinnya.
“Aduh, kok sinyalnya putus!”, kalimat itu meluncur dari mulut si gadis

Si gadis berdiri, meninggalkan tempat duduknya lalu melangkah menuju kafe 2 meter di seberang sana sambil memegangi gadgetnya seperti mencari-cari sinyal wifi. Dia duduk kemudian tangan dan matanya kembali sibuk dengan gadget di hadapannya, kembali tersenyum dan tertawa sendiri dengan benda mati itu.

Si pria yang merasa perjuangannya telah gagal karena gadis yang dihampirinya malah pergi mencari si sinyal wifi memutuskan menggeser sedikit arah kakinya 15 derajat ke arah toilet berjarak 3 meter di hadapannya. Tentu saja dia tidak buang air di toilet itu tapi mengumpat. “Dasar manusia jaman sekarang, gadget udah kayak makhluk hidup aja ngalahin yang bener-bener hidup.”, katanya menggerutu.


Nama gue Silva Prastiwi, dan loe bisa manggil gue Silva atau Tiwi. Biasanya sih, gue lebih sering dipanggil Silva dari pada Tiwi. Dan kalau kalian mau manggil gue Silva kek, Tiwi kek, nggak apa-apa kok!

Gue punya satu cerita yang satu-satunya bikin gue merinding dari cerita-cerita horror lainnya. Ini cerita beda banget sama cerita-cerita horror yang lainnya. Cerita ini emang nggak nyata, tapi ini seperti nyata tapi di dalam mimpi. Yup! Ini cuma mimpi. Dan mimpi ini lebih mengerikan dari pada mimpi-mimpi yang lain. Hiii …

Gue setengah tidur, setengah bangun, alias setengah sadar, dan setengah nggak sadar. Samar-samar gue dengar percakapan bokap sama nyokap gue. Gini nih kalau cerita yang gue dengar waktu itu.
Bokap: “kita ziarah yuk!”
Nyokap: “nanti, Pa! Mama lagi bersih-bersih bareng adek (adek yang dimaksud adeknya nyokap gue).”
Bokap: “okeh! Nanti siang, ya?”
Nyokap: “iya, Pa!”
Nah, dibilang mau ziarah, gue baru inget kalau gue baru aja udah belajar tutorial hijab baru. Pengeeennn banget gue ikut!
“Pah, Abel ikut, ya?” pinta gue. Tapi nyokap maupun bokap gue nggak ada yang ngejawab. Akhirnya, gue tidur, terus bangun, dan tidur lagi.
Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Banguuun! Tidur lagiii!
Nah, dari bangun-tidur-bangun-tidur lagi, di sinilah cerita mimpi kayak nyata itu datang.



Gue bangun. Masih merasa kayak di dalam mimpi. Kepala gue agak pusing. Tapi gue bergegas nyari baju buat pergi ziarah kubur. Karena waktunya kepepet banget, akhirnya nyokap gue turun tangan ngebantuin gue sambil ngomel-ngomel karena gue lambat bangun dan bentar lagi bokap gue bakalan pergi. Jadi, tanpa perlu mandi, gue udah pake baju. Entahlah, gue juga nggak ingat. Tiba-tiba aja gue udah pake baju yang dipilihin nyokap gue barusan.

Setelah selesai pake baju (padahal udah kepake dengan ajaibnya), ternyata bokap gue nggak jadi ingin pergi ziarah. Jadi, sebagai gantinya, gue dititipin sama tante gue yang kebetulan mau ziarahan juga. Untung aja gue ada temen. Ratna dan Handoyo.

Gue pun keluar dari rumah dan lari-lari nemuin Ratna dan Handoyo  Padahal, gue males banget lari-lari kayak gitu. Takutnya kehausan, karena lagi puasa. Tapi lebih baik lari dari pada ditinggalin.
Ini yang bikin gue kesel! HA-RUS JA-LAN KA-KI!!! Huuuhhh … Udah capek, tante gue dan Handoyo lagi semangat, dan Ratna yang jalannya … duuuhhh … nggak kebayang gimana cepatnya! Lebih cocok dibilang lari dari pada jalan. Dan dari semua yang pergi ziarah, cuma gue! Gue seorang yang paaaling lemes!

Tinnn tiiinnn!!!
Terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakang. Gue berbalik dan gue temuin kakak gue yang lagi make sepeda motor.
“ngapain, Kak?” Tanya gue basa-basi.
“tadi, disuruh Papa nganterin kamu biar kamu nggak kecapean!” jawabnya.
Karena jawaban dari kakak gue, gue jadi seneeeng banget! Karena akhirnya gue nggak perlu lagi capek-capek ngikutin tante gue yang jalan kaki. Gue pikir, kenapa nggak manggil taksi biar nggak kecapean? Tapi biarlah, itu urusan tante sama yang lainnya.

Tapi, baru setengah jalan, eeeh, kakak gue malah nyetop deket jembatan.
“kenapa setop, Kak?” Tanya gue.
“jembatannya diperbaikin orang!” ujar kakak gue. Gue bingung. Perasaan, jembatan yang diperbaikin itu jembatannya masih jauh dari sini. Pas gue lihat, ternyata bener! Jembatannya diperbaiki! Tapi tunggu, katanya dibaikin, kok, orang yang lagi baikinnya nggak ada, ya? Terus, kenapa nggak dibikin jembatan darurat? Biar mudah lewatnya. “kita naik getek aja!” usul kakak gue.
Sebelum lanjut, kalian tahu nggak getek itu apaan? Apa? Getek itu semacam perahu yang ditarik menggunakan tali dari satu pulau ke pulau lain.
“oke!” jawab gue seneng. Gue seneng karena jarang-jarang gue bisa naik getek. Nggak kayak temen sekolah lainnya yang terpaksa naik getek karena jembatannya yang sedang diperbaiki.

Kakak gue kelihatan celingak-celinguk lihat ke sungai. Gue pikir, ngapain celingak-celinguk? Geteknya aja udah kelihatan dari sini. Setelah celingak-celinguk, kakak gue naik sepeda motor. Gue ikut naik tanpa mengatakan kalimat apapun. Sepeda motor pun pergi beberapa meter, lalu setop lagi. Dan lagi-lagi kakak gue celingak-celinguk lihat ke sungai. Gue bingung lagi. Udah tahu geteknya di sini adanya cuma satu.
“eh, nggak jadi deh, naik geteknya.” Kata kakak gue lemes. Lemeees banget!
“kenapa?” Tanya gue. Kakak gue diem, dan sekejap, gue baru ingat sesuatu. “oya! Kakak takut naik getek, kan?” Tanya gue yang baru aja ingat kakak gue pernah bilang kalau dia takut naik getek. Duuuh, udah gede masiiih aja takut naik beginian.

Dari sini gue mulai bingung. Kakak gue tiba-tiba aja ngilang entah kemana. Gue merasa kembali lagi menjadi anak kecil walaupun dari segi fisik nggak sedikit pun berubah menjadi anak kecil. Gue berpaling ke arah belakang, dan gue temuin Ratna,Handoyo dan tante gue. Tapi mereka nggak bertiga aja. Ada lima cowok lain. Sepertinya mereka bukan berasal dari Indonesia, tapi Korea! Jika dilihat, penampilan mereka terlihat seperti sebuah boyband dari pada warga biasa.
Salah satu dari Orang Korea yang berambut biru (ya, rambutnya biru hasil dari nyemir) manggil gue supaya mendekat ke sana. Entah mengapa kaki gue serasa ada yang menggerakkin. Padahal niat gue ke sana buat nemuin Ratna, Handoyo  sama tante gue. Tapi arahnya berpindah pada cowok-cowok Korea itu. Yang berambut biru tadi langsung meluk gue. Iiih! Sebenernya gue ogah dipeluk-peluk kayak gituan. Tapi gimana lagi? Badan gue serasa lemah, nggak ada kekuatan. Lalu cowok itu ngegelitikin gue. Gue mau ketawa kencang dan meminta tolong, tapi rasanya suara gue udah hilang, dan yang bisa gue perbuat hanyalah ketawa-ketawa tanpa suara.

“gue mau ini! Gue mau ini! Gue mau ngebeliin cewek gue ini!” hah?! Sepintas terpikir oleh gue, kok, cowok Korea bisa ngomong bahasa Indonesia? Dan … ngapain dia pegang-pegang kaos dalam gue? “gue mau ngebeliin cewek gue ini! Ini rok yang diidam-idamkan cewek gue!” sambungnya.
Hah?! Rok?! Panca indranya kemana, sih? Kaos dalam dibilang rok! Udah tahu gue nggak pake rok!
“cewek loe pasti seneng tuh, kalau loe beliin rok kayak gituan!” ujar temennya yang berambut pirang.
Dengan paksaan, gue melepaskan diri dari pelukan cowok gila itu. Dan sekarang terjadi kejadian yang aneh lagi. Tiba-tiba aja di depan gue ada tiga anak cewek yang gue kenal dan masih dibawah umur gue lagi tidur-tiduran di teriknya panas matahari. Mereka adalah Talita, Avita dan Vita. Yang anehnya lagi, mereka bertiga tidur-tidurannya pake bantal! Itu tidur, atau bener-bener tinggal di pinggir jalan?
“eh, Kak Silva! Ayo, Kak istirahat dulu di sini!” ujar Talita sambil nepuk-nepuk bantal kapuk yang tel*njang (tel*njang ya maksudnya nggak pake sarung).
Entahlah semua kejadian ini terasa ada yang mengendalikan. Seperti seorang Script Writer yang sedang menuliskan kejadian gila ini. Mungkin sekarang dia sedang menuliskan “Silva pun ikut beristirahat bersama tiga anak perempuan itu”. Pantas aja gue tiba-tiba aja mau ikut sama mereka di bulan puasa ini berjemur di teriknya panas matahari tanpa ada rasa haus.

Gue melirik ke arah lima cowok Korea yang gila tadi. Gue kaget! Kenapa? Gimana nggak kaget? Di sini cahaya mataharinya terik banget! Dan di sana terlihat mendung dan sejuk. Di tambah lagi ada kakaknya Ratna yang lagi ngobrol-ngobrol sama lima cowok Korea gila dengan gaya “Chibi-Chibi” gitu.
“Kak, Kak, Kak!” ujar Avita menyolek bahu gue. Gue berbalik arah pada Avita. “Kak Silva lihat cowok yang berambut biru itu, kan?” tanyanya. Gue mengangguk. “dia itu bekerja di kantor ayahku, Kantor ITB.” Ujarnya.
Kantor ITB (institut teknologi boyang). Baru kali ini gue dengar ada kantor namanya ITB. Gue lirik lagi cowok berambut biru yang meluk-meluk gue tadi. Wajahnya mirip banget sama Apri, dokter hewan yang ada di film malam suro. Miriiip bangeeet! Cuma rambutnya aja yang berbeda. Dia kurang tersenyum. Dari raut wajahnya, dia lebih sering melamun. Sama seperti halnya Apri.

Suasananya seperti fast motion. Cepat banget berlalu. Matahari telah tenggelam. Dan dengan rasa lemas, gue berjalan menuju rumah sendirian.
Malam hari di rumah, gue mandi dan saat sedang make baju, ada kejanggalan yang bikin gue bingung. Seperti ada yang memata-matai gue. Gue lirik ke arah jendela, dan gue lihat ada sebuah bola aneh berwarna biru. Benda itu gue ambil dan gue perhatikan dengan detail. Bola itu mempunyai satu mata yang besar dengan tiga tanda segitiga di atas matanya. Karena gue takut, gue banting tuh bola aneh. Dan saat dibanting, keluar lendir berwarna biru seperti putih telur mentah.
Tiba-tiba aja, ada bola aneh itu lagi. Tapi kali ini ada tiga! Dua buah berwarna biru, dan satu berwarna merah. Dan ciri-cirinya sama dengan bola yang pertama. Mata besar, dan tiga buah tanda segitiga di atas mata mereka. Karena gue takut bakalan semakin parah, akhirnya gue keluar kamar dan memutuskan untuk keluar rumah aja sekalian. Dan … what happened?
Di sini lebih parah dari pada saat gue berada di dalam kamar. Di sini banyak sekali bola-bola aneh tadi. Dan bukan hanya itu! Di sini juga banyak benda aneh seperti selang yang ujungnya mempunyai mata, seperti Tali Penegak Keadilan milik Doraemon yang tugasnya mengikat orang-orang yang berbohong atau nakal. Warnanya pun beragam. Ada kuning, hijau, merah, dan biru. Benda-benda aneh ini membuat teras rumah gue berantakan. Ini aneh! Aneh sekali! Gue nggak pernah ngalamin hal seperti ini. Gue pengin teriak minta tolong. Tapi entahlah, suara gue serasa tercekat di tenggorokan.
Gue lirik ke sekitar dan gue ketemu pelakunya! Pelakunya tiada lain dan tiada bukan adalah lima cowok Korea gila tadi siang! Tapi kali ini mereka berdua saja, yang bertiga lagi gue nggak tahu di mana. Cowok yang mirip Apri itu kali ini nggak lagi serba biru. Kali ini dia berubah menjadi serba kuning. Malah temennya yang mirip Fadli, seperti di film yang sama, Malam Suro, itu yang serba biru. Cowok yang mirip Apri itu melempar bola aneh berwarna biru, dan cowok yang mirip fadli itu melempar bola aneh berwarna merah ke arah gue.



Kali ini gue bangun. Bangun beneran namun masih merasa di alam bawah sadar gue. Dan akhirnya gue tidur lagi.



Gue ambil salah satu bola aneh warna merah. Gue berencana untuk menanyakan pada Avita tentang hal ini. Gue lari menuju rumahAvita yang nggak jauh dari rumah gue. Tapi gue tak bisa berlari lagi karena gue dikepung oleh lima cowok Korea gila itu. Dua di depan gue sambil membawa 2 ekor kucing putih bertutul merah dan biru, dan tiga di belakang gue sedang membawa bola-bola aneh berwarna merah, biru, dan kuning.

Waktu itu, gue sebaaal banget! Gue cenggram kuat-kuat bola yang ada di tangan gue dan yang terjadi bukannya pecah, malah terbelah menjadi empat bagian dengan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya yang berukuran seperti bola voli.
Dua cowok yang lagi megang kucing itu langsung melempar dua kucing yang dipegangnya ke arah gue. Karena gue takut, gue tendang tuh kucing sehingga tak bisa bersama lagi, walaupun sebenarnya gue ini pecinta kucing. Gue tahu, pasti salah satu kucing itu betina dan satunya lagi jantan. Jika sel sperma kucing jantan memasuki sel telur sang betina, maka akan terjadi pembuahan yang pastinya akan mengeluarkan bola aneh barusan. Entah apa yang mereka perbuat pada dua ekor kucing yang cantik itu, yang pasti kucing hasil kloning itu akan mengeluarkan telur, bukannya anak.



Semua terjadi dengan saaangat cepat! Gue tak ingat lagi apa yang terjadi setelah gue menendang dua kucing cantik itu. Yang pasti, gue bangun dengan suhu yang panas. Gue ngebayangin lagi tuh mimpi kayak gimana. “kenapa nggak ada yang nolongin gue?” pikir gue. “mungkin waktu di dalam mimpi nggak ada orang lain di sekitar. Hanya gue dan lima cowok Korea gila itu.”

Itu semua terjadi entah karena gangguan Syaitan atau karena teguran dari Tuhan. Tapi, jika gue pikir lebih lanjut, sepertinya ini bukan karena gangguan Syaitan, namun karena teguran Tuhan. Kenapa gue bisa yakin dengan itu? Karena gue ngedapetin mimpi yang Super Duper aneh itu di bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, pintu Neraka dikunci dan para Jin, Iblis, dan Syaitan dipenjara di dalam Neraka. Itu berarti mimpi aneh ini adalah teguran dari Tuhan. Tuhan menyuruh gue untuk bangun dan nggak molor-molor melulu di atas tempat tidur. Karena sebelum gue molor kelamaan, gue lupa baca do’a.
Astaghfirullahal ‘azhiiim …

“Aaaa jangan di cukur habis~!” teriak ku “Ahahaha lucuuu… Ahaha. Lah kan udah perjanjiannya yang kalah cukur alis sampai abis.” ujar bahtiar, teman satu kost ku. “Ishhh… iya iya ya udah. Sebelah aja ya.” “Beneran lo mau sebelah? Lebih aneh tau. Ahahah lucu banget kalau sebelah doang yang botak masa.” “Ah. Ya udah deh, suka-suka lo Sha. Gue pasrah.”

Malam itu di kamar kami yang berukuran 7×6 m, kami habiskan dengan bercanda guyonan konyol karena besok sudah libur semester. namaku handoyo dan bahtiar adalah temanku akan berpisah untuk sementara. Tidak lagi tidur satu kamar di kost-an, kami akan pulang ke rumah kami masing-masing. Aku duduk di depan meja rias dengan terpaku. Membiarkan bahtiar menyelesaikan hukumannya pada ku. Saat itu tepat jam 12 malam. Tapi mata kami sama sekali tidak mengantuk. Selesai mencukur habis alis ku, bergosip hal yang tidak penting, menghabiskan snack di atas kasur, akhirnya kami berdua berniat untuk mencoba tidur. Lampu kamar akhirnya kami padamkan.

“Astaga!!!.” ucap ku sangat kaget.
“Kenapa hand?” tanya Bahtiar dalam kegelapan kamar.
“Itu di luar siapa Sha?”
“Siapa?”
“Ituuuu… di jendela~”
“Mana?” tanya Bahtiar lagi sambil celingak-celinguk mendekati satu-satunya jendela di kamar kost kami. Jendela cukup besar, dan bisa di dorong terbuka ke arah luar. Sisi luar jendela langsung terhubung dengan teras depan kamar yang kadang beralih fungsi menjadi area jemur pakaian. Di teras itu setiap malam selalu di hidupkan satu lampu neon agak redup bercahaya agak kuning. Ibu kost yang selalu rajin menghidupkannya setiap magrib, dan mematikannya setelah cahaya matahari merambat di teras, sekitar pukul 8.

“Gue gak liat apa-apa han.” lanjut bahtiar.
“Ah tau ah. Becanda lo gak lucu. Udah bodo amat. Tidur ajalah.” jawabku. Sebenarnya aku melihat sesosok wanita muda, umurnya sepertinya sama dengan kami, sedang berdiri tepat di depan jendela, dan memandang ke arah kamar. Sejujurmya aku takut. Tapi juga bingung. Siapa wanita itu. Tapi kenapa Bahtiar gak ngeliat cewek itu. Jelas-jelas cewek itu tepat di depan jendela, tanpa harus berpindah posisi untuk mendapatkan enggel pandangan yang tepat pun, seharusnya Bahtiar sudah bisa melihat sosok wanita itu. Tapi aku juga ragu, Bahtiar sedang berbohong untuk membuat aku ketakutan sendiri atau tidak ya? Apalagi aku yang sudah satu kamar kost satu tahun lebih dengannya, sudah tahu watak jahilnya seperti apa. Tapi kalau aku ingat-ingat, aku pernah dengar mitos, kalau orang yang mencukur alisnya habis di tengah malam, akan dapat melihat hantu. Jangan-jangan mitos itu benar. Tapi aku tidak tahu pasti.

Aku sedang duduk di ruang tengah rumah ku, mencoba menikmati masa-masa santai liburan sekolahku YPT2  ku. Tapi bagaimana bisa santai kalau wanita di jendela kost malam tadi sekarang ada di sebelah ku, duduk di sofa yang sama dengan ku. Aku hanya diam. Aku hanya sesekali menoleh ke arahnya dengan canggung, dan ia pasti membalas dengan menoleh juga ke arah ku dengan wajah datar tak bersalahnya. Dibanding takut, perasaan ku lebih condong ke bingung. Bagaimana aku bisa takut kalau setiap ia menoleh ia malah tersenyum manis padaku layaknya sahabat lama, wajahnya pun tidak seperti hantu (malah cantik, bisa dibilang jika ia menjadi siswi SMA, ia akan menjadi siswi populer atau ketua tim cheerleaders atau semacamnya) walaupun sekarang aku sudah tahu kalau wanita ini adalah hantu. karena sejak tadi pagi aku bangun di kamar kost-ku, aku sudah mendapati dia masih berdiri di depan jendela itu. Saat aku berjalan membawa koper untuk mencari taksi menuju rumah, ia mengikuti langkah ku di samping ku dalam diam, saat aku masuk ke taksi ia juga ikut bersama ku. Lalu supir taksi menegur ku basa-basi ‘sendirian aja mba?’. Di detik itu aku mendapat bukti konkret yang dapat aku percaya kalau hanya aku yang dapat melihatnya. Saat sampai di rumah pun, orang rumahku tidak ada komentar apa-apa tentang sesosok wanita yang terus mengikuti ku. Jika saja orang rumah ku bisa melihat, mereka pasti sudah menyambutnya layaknya tamu dengan memberi makan dan minum, tapi scene itu tidak terjadi. Itu lah bukti konkret kedua, kalau sosok yang mengikuti ku ini adalah hantu.

karena aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau di ikuti terus oleh sosok yang tak nampak di mata orang lain, apalagi ia juga mengikutiku sampai ke kamar mandi. Aku tidak bisa terus diam dan membiarkannya mengikuti ku sepanjang sisa hidup ku. Akhirnya aku memberanikan diri menyapanya.

“Hai.” ucap ku ragu.
“Hai.” jawab sosok itu dengan sopan dan ceria.
“Lo siapa?”
“Silva.”
“Ah jadi nama lo Silva.”
“Um” respon Silva sambil tersenyum ke arah ku.
“Kenapa lo ngikutin gue terus dari kost an tadi sampai ke sini?”
“Gue punya permintaan ke lo.” ucap hantu itu sambil mendekatkan manja wajahnya ke wajahku.
“Pe… pe… per…permintaan?” Tanya ku bingung.
“Iya.”
“Lo harus kabulin.”
“Kenapa gue harus kabulin?”
“Ya kalau gak, gue gak akan pergi dari lo.”
Wah hantu ini, benar-benar, tahu juga dia sama yang namanya ‘ancaman’. Dulu semasa hidup, mungkin dia preman perempuan kali ya. Pikir ku.
“Emang lo mau apa?”
“Motor.”
“Motor? Ahahah. Emang lo mau naik motor?” aku spontan tertawa mendengarnya. Memangnya dia bisa apa ke surga dengan mengendarai motor. Pikir ku. Kenapa gak sekalian delman saja?
“Iya. Mau. Motor.” jawabnya singkat.
“Ya udah lo ambil deh tuh motor Papa gue di depan, lo bawa yang jauh ya, gak usah balik-balik lagi ke gue.” ujarku.
“Bukan motor yang itu.”
“Terus yang mana?”
“Ada. Motornya keluaran lama. Sekarang di pake pak ujang, tukang ojek pertigaan di depan komplek.”
“Lah?! Lo kenal pak ujang juga?” tanya ku heran. Kok nampaknya wanita ini sudah tahu banyak ya padahal baru mengikuti ku kurang dari sehari.
“Gue mau motor itu pokoknya.” ucap hantu itu tegas.
“Nah itu lo udah tau motornya ada dimana. Ya udah gih sana lo baawa sendiri.” jawab ku enteng.
“Heh. Lo pikir hantu bisa bawa motor? Lo yang harus kendarain. Gue dibonceng di belakang~.”

Mau tidak mau aku harus mengabulkan permintaan aneh hantu ini. Padahal aku sudah bilang, mustahil untuk meminjam motor pak ujang, aku tidak begitu kenal dekat dengannya, aku hanya sekedar tau dia saja, tidak sampai ke titik saling percaya untuk meminjamkan barang-barang berharga milik pribadi. Tapi Silva terus mendesak, dan berulang-ulang memperingati ku dengan ancamannya yang tidak akan berhenti mengikutiku. Alih-alih ia malah memberiku saran untuk mencuri motor pak ujang hanya untuk sehari saja. Benar-benar hantu aneh. Tapi aku lebih aneh karena menuruti sarannya. Ini demi ia hilang dari keseharianku.

Dan dengan bekal ilmu kunci T seadaanya yang aku baca dari website granat aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah pak ujang malam itu. Rumah pak ujang memang tidak mempunyai pagar, jadi mudah saja bagi ku untuk membawa keluar-masuk motor. Terlebih lagi, motor ini adalah motor tua yang miskin sistem safety anti maling-nya. Alhasil bocah ingusan macam ku berhasil membondol motor tua ini. Haha. Perasaan bangga timbul di hati ku sejenak, setelah berhasil menghidupkan mesin motor itu.

“Sekarang kita mau kemana?” ucapku berbisik ke Silva.
“Puncak.” jawabnya.
“Hah? Gila kali!.” protes ku sambil masih dalam volume suara amat kecil.
“Udah jalan aja.” ujar Silva.. Dan lagi-lagi mau tak mau aku menurutinya.

Sejam sudah aku mengendarai motor di tengah malam dengan terpaan angin yang dingin serta membonceng sesosok hantu wanita. Tidak pernah aku bayangkan adegan seperti ini mampir di kehidupanku.

“Haaah… kalau begini, aku bisa pulang jam berapa coba?” keluhku di tengah perjalanan. Sebenarnya dalam hitungan belasan menit lagi, kami sudah akan sampai di puncak pas. Tapi mengingat badan yang pegal, aku tidak bisa bayangkan bagaimana perjalanan pulang nanti. Apalagi sudah dini hari. Aku takut jika Papa dan Mama tahu. Komentar apa yang akan keluar dari mulut mereka.

“Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen.” ucap Silva

Saat mendengar kalimat itu, saat itu juga ingatan masa lalu ku terbuka. Aku merinding. Scene seperti ini pernah aku alami sebelumnya. Ini seperti dejavu. ‘Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen’ aku ingat. Dua tahun lalu aku diajak kakak ku menghabiskan malam tahun baru di puncak, hanya berdua, kami mengendarai motor. Motor ini tepatnya. Dari awal desember kak Silva sudah berjanji akan bermain ke puncak dengan ku. Sampai akhirnya, kalimat itu, menjadi kalimat terakhir kakak sebelum ia meninggal karena kecelakaan.

Malam itu sebenarnya malam yang indah di malam tahun baru, langit yang bersih, semua bintang terlihat oleh mata. Tapi satu kejadian sial menimpa aku dan kak Silva, truk besar oleng tepat di belakang motor yang kami kendarai. Hingga akhirnya motor kami tertabrak dari belakang. Sekarang aku ingat semuanya.

“Kakaaaak~?!!” ucapku gemetar. Aku rindu padanya. Aku baru menyadari sosok hantu ini adalah kakak-ku yang sudah meninggal. Air mata pun menetes deras tanpa ku sadari.
“Kamu jangan nangis. Kendarai motornya dengan baik, biar kakak bisa tepati janji kakak nemenin kamu main di puncak sana.” ucapnya penuh kehangatan.

Aku terus mengendarai motor itu, hingga kami sampai di puncak tertinggi. Kami duduk di tanah berumput, aku membaringkan tubuhku ke tanah, agar dapat lebih jelas menikmati indahnya bintang-bintang. Kak Silva pun ikut berbaring di sebelah ku.
“Kemana saja kamu selama ini?” tanya ku.
“Di sini.” jawabnya.
“Huh? Di puncak ini?”
“Ahaha. Bukan. Di sebelah kamu.”
Aku tertegun. Aku menoleh ke arahnya.
“Sebenarnya malam itu, di jendela kost. Aku sedikit kecewa. Kamu tidak mengenali ku saat kamu melihat wajah ku lagi setelah dua tahun yang panjang ini.”
“Bukan begitu. Aku pun baru ingat. Papa dan Mama pernah bawa aku ke psikater.”
“Ngapain?”
“Setiap hari setelah kakak gak ada, aku nangis terus. Aku ngerasa gak adil kenapa kita di motor yang sama tapi luka kecelakaan yang kita dapet bisa berbeda. Kakak begitu parah sampai akhirnya meninggal di TKP. Aku berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Terus? Kamu sampai gila? Di bawa ke psikiater gitu.”
“Bukaaan! Enak aja. Katanya kakak di samping aku terus, kok ini aja gak tau?”
“Ahahah sorry sorry. Bercanda. Ummm, mungkin waktu itu kakak lagi ke toilet kali, jadi gak liat kamu di bawa ke psikiater. Ahahah.”
“Diiih, emang hantu BAB juga?” tanya ku polos, percaya tidak percaya.
“Ahahah gak deng. Mungkin itu kejadiannya sebelum 40 hari han, jadi aku belum ada.”
“Oh gitu. Iya. Gara-gara aku yang terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya Mama Papa bawa aku untuk di hipnotis. Supaya ilangin semua memori tentang kakak di otak aku. Jadi selama dua tahun belakangan ini aku pikir aku anak tunggalnya Papa Mama loh kak.”
“Oooh begitu. Pantes, di rumah foto keluarga kita gak pernah di pajang lagi.”
“Iya. Setelah aku inget ini, aku jadi agak marah sama Papa Mama. Kenapa mereka tega ilangin ingetan aku tentang kakak. Mau gimana juga kan, kak Silva itu kakak aku.”
“Kamu harus ngerti Dek, Papa Mama lakuin ini semua buat kebaikan kamu. Sekarang kamu pulang deh.”
“Ya deh, ayok kita pulang.”
“Kita? Kamu aja kali.”
“Apaan sih kak? Gak lucu tau.”
“Aku serius. Kamu pulang ke rumah. Aku pulang kesana sekarang.” ujar Kak Silva sambil menunjuk ke arah langit, ke arah bintang-bintang yang bersinar indah.
“Kakak gak akan ngikutin aku lagi?” tanya ku sedikit lirih. Kak Silva menjawab hanya dengan menggelengkan kepalanya. Dan aku pun pasrah, aku sadar kami sudah ada di dimensi yang berbeda. Aku kembali menaiki motor pak Ujang (yang dulunya motor Kak Silva. Setelah kecelakaan Papa memberi motor itu ke Pak Ujang. Juga dalam rangka menghapus ingatanku tentang kecelakaan itu).

Aku menghidupkan mesin, dan bersiap pulang dengan membesarkan hati.
“Sampaikan salam terima kasih ku pada Bahtiar yang telah mencukur habis alis mu ya.” ucap Kak Silva seraya melambaikan tangan saat aku beranjak pergi. “Kamu lucu dengan wajah tanpa alis adikku~”