Malam itu di kamar kami yang berukuran 7×6 m, kami habiskan dengan bercanda guyonan konyol karena besok sudah libur semester. namaku handoyo dan bahtiar adalah temanku akan berpisah untuk sementara. Tidak lagi tidur satu kamar di kost-an, kami akan pulang ke rumah kami masing-masing. Aku duduk di depan meja rias dengan terpaku. Membiarkan bahtiar menyelesaikan hukumannya pada ku. Saat itu tepat jam 12 malam. Tapi mata kami sama sekali tidak mengantuk. Selesai mencukur habis alis ku, bergosip hal yang tidak penting, menghabiskan snack di atas kasur, akhirnya kami berdua berniat untuk mencoba tidur. Lampu kamar akhirnya kami padamkan.
“Astaga!!!.” ucap ku sangat kaget.
“Kenapa hand?” tanya Bahtiar dalam kegelapan kamar.
“Itu di luar siapa Sha?”
“Siapa?”
“Ituuuu… di jendela~”
“Mana?” tanya Bahtiar lagi sambil celingak-celinguk mendekati satu-satunya jendela di kamar kost kami. Jendela cukup besar, dan bisa di dorong terbuka ke arah luar. Sisi luar jendela langsung terhubung dengan teras depan kamar yang kadang beralih fungsi menjadi area jemur pakaian. Di teras itu setiap malam selalu di hidupkan satu lampu neon agak redup bercahaya agak kuning. Ibu kost yang selalu rajin menghidupkannya setiap magrib, dan mematikannya setelah cahaya matahari merambat di teras, sekitar pukul 8.
“Gue gak liat apa-apa han.” lanjut bahtiar.
“Ah tau ah. Becanda lo gak lucu. Udah bodo amat. Tidur ajalah.” jawabku. Sebenarnya aku melihat sesosok wanita muda, umurnya sepertinya sama dengan kami, sedang berdiri tepat di depan jendela, dan memandang ke arah kamar. Sejujurmya aku takut. Tapi juga bingung. Siapa wanita itu. Tapi kenapa Bahtiar gak ngeliat cewek itu. Jelas-jelas cewek itu tepat di depan jendela, tanpa harus berpindah posisi untuk mendapatkan enggel pandangan yang tepat pun, seharusnya Bahtiar sudah bisa melihat sosok wanita itu. Tapi aku juga ragu, Bahtiar sedang berbohong untuk membuat aku ketakutan sendiri atau tidak ya? Apalagi aku yang sudah satu kamar kost satu tahun lebih dengannya, sudah tahu watak jahilnya seperti apa. Tapi kalau aku ingat-ingat, aku pernah dengar mitos, kalau orang yang mencukur alisnya habis di tengah malam, akan dapat melihat hantu. Jangan-jangan mitos itu benar. Tapi aku tidak tahu pasti.
Aku sedang duduk di ruang tengah rumah ku, mencoba menikmati masa-masa santai liburan sekolahku YPT2 ku. Tapi bagaimana bisa santai kalau wanita di jendela kost malam tadi sekarang ada di sebelah ku, duduk di sofa yang sama dengan ku. Aku hanya diam. Aku hanya sesekali menoleh ke arahnya dengan canggung, dan ia pasti membalas dengan menoleh juga ke arah ku dengan wajah datar tak bersalahnya. Dibanding takut, perasaan ku lebih condong ke bingung. Bagaimana aku bisa takut kalau setiap ia menoleh ia malah tersenyum manis padaku layaknya sahabat lama, wajahnya pun tidak seperti hantu (malah cantik, bisa dibilang jika ia menjadi siswi SMA, ia akan menjadi siswi populer atau ketua tim cheerleaders atau semacamnya) walaupun sekarang aku sudah tahu kalau wanita ini adalah hantu. karena sejak tadi pagi aku bangun di kamar kost-ku, aku sudah mendapati dia masih berdiri di depan jendela itu. Saat aku berjalan membawa koper untuk mencari taksi menuju rumah, ia mengikuti langkah ku di samping ku dalam diam, saat aku masuk ke taksi ia juga ikut bersama ku. Lalu supir taksi menegur ku basa-basi ‘sendirian aja mba?’. Di detik itu aku mendapat bukti konkret yang dapat aku percaya kalau hanya aku yang dapat melihatnya. Saat sampai di rumah pun, orang rumahku tidak ada komentar apa-apa tentang sesosok wanita yang terus mengikuti ku. Jika saja orang rumah ku bisa melihat, mereka pasti sudah menyambutnya layaknya tamu dengan memberi makan dan minum, tapi scene itu tidak terjadi. Itu lah bukti konkret kedua, kalau sosok yang mengikuti ku ini adalah hantu.
karena aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau di ikuti terus oleh sosok yang tak nampak di mata orang lain, apalagi ia juga mengikutiku sampai ke kamar mandi. Aku tidak bisa terus diam dan membiarkannya mengikuti ku sepanjang sisa hidup ku. Akhirnya aku memberanikan diri menyapanya.
“Hai.” ucap ku ragu.
“Hai.” jawab sosok itu dengan sopan dan ceria.
“Lo siapa?”
“Silva.”
“Ah jadi nama lo Silva.”
“Um” respon Silva sambil tersenyum ke arah ku.
“Kenapa lo ngikutin gue terus dari kost an tadi sampai ke sini?”
“Gue punya permintaan ke lo.” ucap hantu itu sambil mendekatkan manja wajahnya ke wajahku.
“Pe… pe… per…permintaan?” Tanya ku bingung.
“Iya.”
“Lo harus kabulin.”
“Kenapa gue harus kabulin?”
“Ya kalau gak, gue gak akan pergi dari lo.”
Wah hantu ini, benar-benar, tahu juga dia sama yang namanya ‘ancaman’. Dulu semasa hidup, mungkin dia preman perempuan kali ya. Pikir ku.
“Emang lo mau apa?”
“Motor.”
“Motor? Ahahah. Emang lo mau naik motor?” aku spontan tertawa mendengarnya. Memangnya dia bisa apa ke surga dengan mengendarai motor. Pikir ku. Kenapa gak sekalian delman saja?
“Iya. Mau. Motor.” jawabnya singkat.
“Ya udah lo ambil deh tuh motor Papa gue di depan, lo bawa yang jauh ya, gak usah balik-balik lagi ke gue.” ujarku.
“Bukan motor yang itu.”
“Terus yang mana?”
“Ada. Motornya keluaran lama. Sekarang di pake pak ujang, tukang ojek pertigaan di depan komplek.”
“Lah?! Lo kenal pak ujang juga?” tanya ku heran. Kok nampaknya wanita ini sudah tahu banyak ya padahal baru mengikuti ku kurang dari sehari.
“Gue mau motor itu pokoknya.” ucap hantu itu tegas.
“Nah itu lo udah tau motornya ada dimana. Ya udah gih sana lo baawa sendiri.” jawab ku enteng.
“Heh. Lo pikir hantu bisa bawa motor? Lo yang harus kendarain. Gue dibonceng di belakang~.”
Mau tidak mau aku harus mengabulkan permintaan aneh hantu ini. Padahal aku sudah bilang, mustahil untuk meminjam motor pak ujang, aku tidak begitu kenal dekat dengannya, aku hanya sekedar tau dia saja, tidak sampai ke titik saling percaya untuk meminjamkan barang-barang berharga milik pribadi. Tapi Silva terus mendesak, dan berulang-ulang memperingati ku dengan ancamannya yang tidak akan berhenti mengikutiku. Alih-alih ia malah memberiku saran untuk mencuri motor pak ujang hanya untuk sehari saja. Benar-benar hantu aneh. Tapi aku lebih aneh karena menuruti sarannya. Ini demi ia hilang dari keseharianku.
Dan dengan bekal ilmu kunci T seadaanya yang aku baca dari website granat aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah pak ujang malam itu. Rumah pak ujang memang tidak mempunyai pagar, jadi mudah saja bagi ku untuk membawa keluar-masuk motor. Terlebih lagi, motor ini adalah motor tua yang miskin sistem safety anti maling-nya. Alhasil bocah ingusan macam ku berhasil membondol motor tua ini. Haha. Perasaan bangga timbul di hati ku sejenak, setelah berhasil menghidupkan mesin motor itu.
“Sekarang kita mau kemana?” ucapku berbisik ke Silva.
“Puncak.” jawabnya.
“Hah? Gila kali!.” protes ku sambil masih dalam volume suara amat kecil.
“Udah jalan aja.” ujar Silva.. Dan lagi-lagi mau tak mau aku menurutinya.
Sejam sudah aku mengendarai motor di tengah malam dengan terpaan angin yang dingin serta membonceng sesosok hantu wanita. Tidak pernah aku bayangkan adegan seperti ini mampir di kehidupanku.
“Haaah… kalau begini, aku bisa pulang jam berapa coba?” keluhku di tengah perjalanan. Sebenarnya dalam hitungan belasan menit lagi, kami sudah akan sampai di puncak pas. Tapi mengingat badan yang pegal, aku tidak bisa bayangkan bagaimana perjalanan pulang nanti. Apalagi sudah dini hari. Aku takut jika Papa dan Mama tahu. Komentar apa yang akan keluar dari mulut mereka.
“Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen.” ucap Silva
Saat mendengar kalimat itu, saat itu juga ingatan masa lalu ku terbuka. Aku merinding. Scene seperti ini pernah aku alami sebelumnya. Ini seperti dejavu. ‘Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen’ aku ingat. Dua tahun lalu aku diajak kakak ku menghabiskan malam tahun baru di puncak, hanya berdua, kami mengendarai motor. Motor ini tepatnya. Dari awal desember kak Silva sudah berjanji akan bermain ke puncak dengan ku. Sampai akhirnya, kalimat itu, menjadi kalimat terakhir kakak sebelum ia meninggal karena kecelakaan.
Malam itu sebenarnya malam yang indah di malam tahun baru, langit yang bersih, semua bintang terlihat oleh mata. Tapi satu kejadian sial menimpa aku dan kak Silva, truk besar oleng tepat di belakang motor yang kami kendarai. Hingga akhirnya motor kami tertabrak dari belakang. Sekarang aku ingat semuanya.
“Kakaaaak~?!!” ucapku gemetar. Aku rindu padanya. Aku baru menyadari sosok hantu ini adalah kakak-ku yang sudah meninggal. Air mata pun menetes deras tanpa ku sadari.
“Kamu jangan nangis. Kendarai motornya dengan baik, biar kakak bisa tepati janji kakak nemenin kamu main di puncak sana.” ucapnya penuh kehangatan.
Aku terus mengendarai motor itu, hingga kami sampai di puncak tertinggi. Kami duduk di tanah berumput, aku membaringkan tubuhku ke tanah, agar dapat lebih jelas menikmati indahnya bintang-bintang. Kak Silva pun ikut berbaring di sebelah ku.
“Kemana saja kamu selama ini?” tanya ku.
“Di sini.” jawabnya.
“Huh? Di puncak ini?”
“Ahaha. Bukan. Di sebelah kamu.”
Aku tertegun. Aku menoleh ke arahnya.
“Sebenarnya malam itu, di jendela kost. Aku sedikit kecewa. Kamu tidak mengenali ku saat kamu melihat wajah ku lagi setelah dua tahun yang panjang ini.”
“Bukan begitu. Aku pun baru ingat. Papa dan Mama pernah bawa aku ke psikater.”
“Ngapain?”
“Setiap hari setelah kakak gak ada, aku nangis terus. Aku ngerasa gak adil kenapa kita di motor yang sama tapi luka kecelakaan yang kita dapet bisa berbeda. Kakak begitu parah sampai akhirnya meninggal di TKP. Aku berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Terus? Kamu sampai gila? Di bawa ke psikiater gitu.”
“Bukaaan! Enak aja. Katanya kakak di samping aku terus, kok ini aja gak tau?”
“Ahahah sorry sorry. Bercanda. Ummm, mungkin waktu itu kakak lagi ke toilet kali, jadi gak liat kamu di bawa ke psikiater. Ahahah.”
“Diiih, emang hantu BAB juga?” tanya ku polos, percaya tidak percaya.
“Ahahah gak deng. Mungkin itu kejadiannya sebelum 40 hari han, jadi aku belum ada.”
“Oh gitu. Iya. Gara-gara aku yang terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya Mama Papa bawa aku untuk di hipnotis. Supaya ilangin semua memori tentang kakak di otak aku. Jadi selama dua tahun belakangan ini aku pikir aku anak tunggalnya Papa Mama loh kak.”
“Oooh begitu. Pantes, di rumah foto keluarga kita gak pernah di pajang lagi.”
“Iya. Setelah aku inget ini, aku jadi agak marah sama Papa Mama. Kenapa mereka tega ilangin ingetan aku tentang kakak. Mau gimana juga kan, kak Silva itu kakak aku.”
“Kamu harus ngerti Dek, Papa Mama lakuin ini semua buat kebaikan kamu. Sekarang kamu pulang deh.”
“Ya deh, ayok kita pulang.”
“Kita? Kamu aja kali.”
“Apaan sih kak? Gak lucu tau.”
“Aku serius. Kamu pulang ke rumah. Aku pulang kesana sekarang.” ujar Kak Silva sambil menunjuk ke arah langit, ke arah bintang-bintang yang bersinar indah.
“Kakak gak akan ngikutin aku lagi?” tanya ku sedikit lirih. Kak Silva menjawab hanya dengan menggelengkan kepalanya. Dan aku pun pasrah, aku sadar kami sudah ada di dimensi yang berbeda. Aku kembali menaiki motor pak Ujang (yang dulunya motor Kak Silva. Setelah kecelakaan Papa memberi motor itu ke Pak Ujang. Juga dalam rangka menghapus ingatanku tentang kecelakaan itu).
Aku menghidupkan mesin, dan bersiap pulang dengan membesarkan hati.
“Sampaikan salam terima kasih ku pada Bahtiar yang telah mencukur habis alis mu ya.” ucap Kak Silva seraya melambaikan tangan saat aku beranjak pergi. “Kamu lucu dengan wajah tanpa alis adikku~”
hadeh kirain cerita seram ternyata keren nih ceritanya , ijin share ya gan =))
ReplyDeleteOkeh monggoh gan, =))
Delete