Kalau ditanya apa keinginanku saat ini, pasti dengan yakin bakal kujawab pengen banget amnesia. Kaya’nya seru juga. Nggak tahu, terlalu banyak yang dipikirin, terlalu banyak masalah buat aku ngerasa agak nggak waras.
Handphoneku bergetar pelan, aku melirik ke layarnya sekilas. Rizal.
“Halo,” Sahutku.
“Sayang, lagi ngapain?” Aku mencibir dalam hati, pasti ada maunya.
“Lagi kerja lah. Ada apa?” Tanyaku.
“Malam ini aku nggak bisa ikut acara selamatan adikmu ya. Disuruh bos ke luar kota, ada urusan penting,”
Nah benar kan dugaanku. Selalu aja kaya’ gitu. Sampai-sampai aku sudah hafal dengan kelakuannya. Yang ada dipikirannya cuma kerja, kerja dan kerja.
Rizal selalu menomorduakan aku dalam hal apa aja. Kerjaan, keluarga, temannya, pokoknya semuanya. Anehnya, sampai hari ini aku masih bisa bertahan.
Dulu, aku memang sering ngambek. Tapi lama-lama jadi kebal juga. Jadi sekarang, aku nggak perduli lagi Rizal mau ngapain, mau kemana, dll. Mungkin seharusnya aku cari selingkuhan aja.
“Ya sudah nggak apa-apa. Hati–hati aja ya,” Sahutku dingin.
Jadi ingat acara nanti malam. Acara selamatan adikku Talita yang baru menyelesaikan S2 nya sekaligus acara tunangan dengan pacarnya. Seharusnya aku iri dengan acara ini. Tapi berharap Rizal memikirkan soal kelanjutan hubunganku sama dia, sama aja kaya’ menunggu matahari jadi dua. Nggak mungkin!
Harapanku cuma satu, mama nggak bandingin aku dan Talita. Wajar aja beda, Talita punya pacar yang kelakuannya manis banget sampai kadang aku jadi eneg atau lebih tepatnya iri. Sedangkan aku cuma punya Rizal yang syukur-syukur masih ingat hari ulang tahunku.
Sudah jam dua belas siang, waktunya makan siang. Dulu waktu awal jadian, Rizal selalu menjemputku buat makan siang. Sekarang, mimpi kali.
“Vit, mau makan apa?” Teriak Silva dari mejanya.
“Pengen nyobain rumah makan Sunda yang baru tuh,” Sahutku.
“Yang dekat lampu merah?” Aku mengganguk mengiyakan.
Aku beranjak dari kursiku. Banyak kabel berserakan di lantai. Kok nggak diberesin sih, runtukku dalam hati.
Tiba-tiba kaki kananku tersangkut salah satu kabel. Aku mengangkat kakiku dan berusaha melepaskan kabel yang tersangkut. Baru aja kaki kananku terlepas dari kabel, gantian kaki kiriku yang tersangkut. Dan nggak tahu kenapa, aku kehilangan keseimbangan.
Sekelilingku jadi gelap.
—
Kepalaku pusing. Aku membuka mataku perlahan. Silau, kupejamkan lagi mataku. Nggak lama terdengar suara ribut-ribut. Berisik, nggak tahu apa kepalaku sakit banget.
“Vit, kamu nggak apa-apa?!” Seorang ibu bermake up menor memegang tanganku erat.
“Mbak, apanya yang terasa sakit?” Kali ini seorang cewek berwajah imut mengelus-elus tanganku.
Aku melihat sekelilingku. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa aku dikerumuni banyak orang?
Duuuh, tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Aku memegang kepalaku. Apa ini? Kenapa kepalaku diperban segala?
“Jangan dipegang dulu, nak. Nanti jahitannya kebuka,” Aku menatap ibu bermake up menor tadi dengan muka bingung. Siapa orang-orang ini?
“Sya…!” Kali ini seorang cowok dengan dandanan eksekutif muda menyeruak dari kerumunan orang. Nafasnya terengah-engah. Sebelumnya dia mencium tangan ibu bermake menor.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” Cowok itu langsung memelukku. Kontan langsung kudorong dia menjauhiku.
“Kamu siapa?” Tanyaku bingung. Semua yang ada disitu langsung terdiam. Aku menatap mereka satu persatu, kenapa nggak ada seorangpun yang aku kenal?
“Vit, ini aku! Rizal, pacar kamu!”
Nampaknya cowok tadi belum menyerah juga. Tadi dia bilang apa? Pacar?! Sejak kapan aku suka tipe cowok kaya’ dia. Cakep sih, tapi mukanya nyebelin banget!
“Vit, ini Rizal, pacar kamu. Masa kamu lupa,” Ibu bermake up menor menimpali.
“Sebenarnya kalian siapa?” Tanyaku. Ibu bermake menor langsung menangis. Seketika sekelilingku langsung gaduh, kepalaku jadi pusing lagi. Mendingan aku tidur aja.
—
Nampaknya tidurku lumayan lama. Waktu aku bangun, sekelilingku sudah sepi. Yang ada di depanku cuma cewek berwajah imut sedang membaca buku. Aku mencoba membaca judul bukunya, tapi nggak berhasil, pandanganku terasa kabur. Aku berdehem pelan.
“Mbak…” Buru-buru dia menyimpan bukunya.
“Minum ya, mbak,” Katanya sambil menyodorkan gelas berisi minuman kepadaku. Aku meneguknya sedikit.
“Mbak lupa sama aku juga?” Tanyanya sambil menatapku. Aku mengganguk.
“Aku Talita, adik mbak,” Sahutnya. Aku tersenyum.
“Cowok tadi yang ngaku pacarku, siapa dia?” Tanyaku penasaran.
“Itu mas Rizal, pacar mbak. Ibu tadi tuh mama kita,” Jelas Talita. Aku melongo. Pacarku?!
“Trus, aku kenapa ada disini?”
“Tadi mbak jatuh di kantor. Kepala mbak kebentur lantai, terus kening mbak juga robek, makanya diperban kaya gini. Kata dokter, mbak kena amnesia ringan,” Jelasnya lagi.
Aku terdiam dan berusaha mengingat. Tapi kepalaku malah tambah sakit.
“Sudah, mbak istirahat aja. Aku keluar sebentar ya, mbak. Mau manggil mama dulu. Pokoknya jangan mikirin apa-apa, istirahat aja,” Aku mengganguk sambil tersenyum. Eh… ibu make up menor tadi mamaku?
Aku bangkit dari tempat tidurku. Bosan juga dari tadi tiduran terus. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Uhhhhhh, cowok yang tadi lagi.
“Ada apa?” Tanyaku cuek. Nggak tahu kenapa aku sebel banget melihat mukanya.
“Sudah baikan?” Tanyanya sambil menghampiriku. Kontan aku langsung mundur, takut dia macam-macam lagi.
“Kamu sama sekali nggak ingat aku?” Tanyanya dengan muka memelas. Aku menggeleng dengan yakin.
Dia kemudian sibuk dengan handphonenya. Lalu tiba-tiba dengan muka bersemangat menunjukkan handphonenya kepadaku.
“Ingat nggak sama foto ini,” Aku memicingkan mataku. Foto apaan, nggak jelas.
“Ini kamu, ingat nggak?” Iya juga, memang ada aku di foto itu dan… cowok itu! Kapan aku foto bareng sama dia?
“Terus kenapa?” Tanyaku.
“Percaya kan kalau kita ini memang pacaran,”
“Nggak lah! Mungkin aja kamu ngefans banget sama aku, makanya ada foto kita berdua. Sudah ah, kamu pergi sana. Kepalaku pusing lagi, aku mau tidur dulu,” Usirku.
Aku mendorong cowok itu ke luar kamarku. Menyebalkan lama-lama ngobrol sama dia.
“Vit, aku mohon kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku memang pacarmu,” Dia masih aja terus memohon.
“Eh… dengar ya! Aku nggak ngerasa jadi pacar kamu, terus aku juga nggak pengen jadi pacar kamu. Jadi stop ngomong hal yang aku nggak ngerti!” Duuuh, kepalaku pusing lagi. Sial, nampaknya cowok ini harus kuusir jauh-jauh biar penyakitku nggak kumat terus.
“Kalian kenapa?!” Ibu bermake up menor eh… mamaku sama Talita tiba-tiba muncul.
“Mas Rizal gimana sih, kan tadi aku udah bilang jangan ngomong yang nggak-nggak ke mbak Vita,” Marah Talita ke cowok itu. Huuh, rasain!
“Maaf, Talita,” Bisik cowok itu pelan.
“Mama bawakan nasi uduk kesukaanmu. Dimakan ya,” Aku menuju tempat tidur dan kembali berbaring. Ibu itu eh… mama menyuapiku.
Cowok yang dipanggil Talita dengan sebutan mas Rizal itu masih sibuk kasak kasuk dengan Talita, nggak tahu apa yang mereka diskusikan. Aku nggak perduli.
“Ma, aku benaran pacaran sama cowok itu ya?” Bisikku perlahan.
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya mama masih sambil menyuapiku.
“Kalau gitu mama bilang sama dia, aku mau putus aja,” Mama berhenti menyuapiku.
“Kenapa, nak?” Tanya mama dengan muka serius.
“Nggak mau sama dia, orangnya nyebelin,” Sahutku. Lama mama menatapku.
“Sebenarnya mama nggak boleh ceritain ini. Ini rahasia. Tapi gimana lagi. Sebenarnya malam ini Rizal mau melamar kamu, tapi batal gara-gara kajadian ini. Jadi mama mohon, kamu jangan ngomong yang nggak-nggak dulu ya sampai kamu ngerasa baikan,” Kata mama pelan. Duuuh, dilamar sama cowok kaya’ dia? Jangan sampai deh!
Aduh! Kepalaku sakit lagi. Aku menjerit tertahan. Mama nampak panik, Talita dan Rizal bergegas menghampiriku. Sekelilingku nampak kabur.
—
Rasanya aku baru bangun dari tidur panjang. Kepalaku terasa berat. Barusan aku seperti mimpi aneh.
“Ini dimana, ma?” Tanyaku perlahan.
“Di rumah sakit. Sudah istirahat aja lagi,” Mama mengelus rambutku. Aku mengedarkan pandanganku. Ada Talita, adikku. Kok ada Rizal juga? Katanya malam ini dia mau ke luar kota. Terus acara selamatannya Talita gimana?
“Ma, acara Talita gimana?” Tanyaku panik.
“Jangan dipikirin, acaranya masih bisa diundur kok,” Sahut mama sambil tersenyum. Di belakang mama, Talita dan Rizal nampak kasak kusuk. Pandanganku beralih ke Rizal. Nggak tahu kenapa dia nampak takut-takut melihatku. Sebenarnya ada apa?
“Katanya mau ke luar kota? Nggak jadi ya?” Tanyaku ke Rizal. Lama Rizal terdiam. Dia dan Talita saling pandang.
“Nggak jadi, Vit. Diundur sampai kamu sembuh,” Rizal kemudian menghampiriku dan mengelus pipiku. Tumben dia jadi perhatian.
“Tadi aku mimpi, masa mama bilang kalau kamu mau ngelamar aku. Aneh banget mimpinya,” Kataku ke Rizal. Raut muka Rizal langsung berubah, sedang mama dan Talita saling pandang.
Aku menatap mereka satu persatu. Apa aku salah ngomong???