Friday 1 November 2013


Paragraf hari yang selalu membahas kisahku yang menuntun ke arah luas taman surga, sekarang hanya menjadi potongan kalimat kecil begitu mungil mengganyam seluruh jejaknya.
Senyum mutia hanya menjadi luka berkarat bila kuingat sendainya bisa aku ingin membuang semua nostalgia ke dasar samudera agar terbawa arus pergi jauh sampai aku tak mengetahui itu atau meletakkannya dalam tasku membukanya bila semua telah usai kembali pada sang wahid.
Sepasang burung gagak telah menunggu di atap rumahku untuk mengabarkan tentang kematian ke segala sudut dan ruang.
Kurang satu tahun aku bersamanya menulis abjad ataupun kalimat di sebuah cahaya yang kusimpan dan kututup rapat tanpa terlipat agar tak ada yang tahu, namun sekarang berhamburan bagai debu tertiup angin di gurun dan basah oleh air mata bukan tawa walau kisah ini telah usai sampai di tempat penantian. Segala rasa tentang cinta yang aku punya direnggut dan diambil secara paksa dari badan dan jiwa.
Kemarin aku sempat mencoba meminangnya, niatku agar tak ada tangan-tangan lain ikut membelai apa itu salah?. Tapi, Yang kuharap tak semudah mengukir di tanah liat dan membakar kertas menjadi abu, abahnya tak menginginkan lamaranku walau mutia sudah mejamin ayahnya setuju. Bahagia tiada tara untuk menyambut laskar anak harapan pulang dari rumah mutia musnah sampai aku tidak tahu telah menjadi apa semuanya lugu bersama gelap secangkir kahwa malam itu, semenjak malam itu ruang gerakku sempit bak terhimpit sampai-sampai aku tak bisa memanjakan kata di atas wajah kertas.
Di pagi harinya kutemui mutia di kantin sekolah saat jam istirahat karena aku ingin tahu tentang mesteri di malam itu. Pagi itu wajahnya begitu segar beraromakan mawar. Aku ajak dia bicara yang aku awali dengan basa-basi belaka kemudian secara perlahan coba kuungkas agar cepat jelas tidak hanya maya.
“Mungkin aku salah, telah banyak berhayal untuk menjadi imam dan menjadi sosok Gajah Mada dalam hidupmu, tapi tolong jangan kau larang aku untuk menjadi penikmat langkahmu”. Ucapku sambil kubuang pandanganku ke langit menatap ratap nestapa karena aku merasa dalam mata abahnya aku tak lebih dari sebuah sampah.
“Tak perlu kau tanya, sebenarnya aku sangat ingin kau menjadi imamku bukan penikmat langkahku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa meskipun aku berontak itu hanya menjadi sia karena Abah tidak pernah menghiraukan aku tadi malam”. Tutur mutia sambil memaksa mataku menatap indah matanya. “Abah masih ingin aku melanjutkan sekolah dan tidak buru-buru tunangan”. Sambung mutia.
“Mut, ini semua salahku, maaf aku terlalu buru-buru”.
“Tidak Zal,”. Tolak mutia sambil meraih dan kemudian memegang erat tanganku sepertinya dia ingin aku tahu tentang yang telah dirasakannya. Sipit mata indahnya mengerucut indah memintaku paham, diluar sana arus ramai terus mengalir licin tanpa kendala tapi tidak dalam hatiku begitu pula dalam hati mutia yang semakin cenderung pada luka.
“Aku ingin hubungan kita ini tetap seperti sediakala, Aku mohon anggaplah ini semua hanya gelombang kecil yang takkan mungkin bisa menggulingkan bahtera cinta kita”. Pinta mutia dengan nada pelan bagai pelan angin yang meniup pohonan pagi itu. Tangannya semakin erat saja merekap tanganku membagi sebuah kasih tanpa henti sesekali matanya mulai meneteskan butiran suci yang menyapu basah pipi lembutnya.
“Aku akan melakukan itu semua selagi aku mampu, tapi mungkinkah kita akan merdeka bila Abahmu semakin kuasa saja menjajah kita denagan dalil-dalil yang dianggapnya suci”. Ungkapku tegas agar indah wajahnya berhenti memandulkan senyum yang kuharap bertebar di pagi itu. Wajah senyum mutia dengan perkasa menitip sebuah kewajiban yang harus ku penuhi agar tak lagi tetap pasang oleh luka dan aku juga harus berani melangkahi sabda abah mutia.
Jam istirahat sudah habis kita segera berjalan menuju kelas masing-masing suara gemerincing bel memasaku untuk segera masuk PR tentang perjalanan kisah mendatang tetap kubawa. Dalam iming dan resahku kata-kata mutia membungkus ragaku dengan kepercayaan yang mendalam beserta pertanyaan besar yang sulit untuk kuselesaikan namun hal itu adalah sebuah kewajiban yang harus aku tuntaskan.
Memang,  abah mutia telah menolak lamaranku dengan dasar seribu alasan yang tak masuk akal bagiku yang mungkin tidak bagi abahnya. Aku tetap saja berhubungan sebagai mana biasanya (menyembunyikannya dari abahnya) karena aku masih belum bisa mengganti senyum mutia dengan senyum yang lain walau telah banyak yang sigap untuk mengoda. Aku masih berniat untuk membongkar dingding kebencian abah mutia yang keras bagai tembok Cina, menjadi uap aroma bunga. Aku selalu bersandar dan berbaur pada do’a dan ikhtiar mengharap ridha sang Arrohman agar mutia dalam dekapku seutuhnya tidak hanya dalam maya. Meski aku harus membeli hal itu dengan harga yang mahal asal mutia dapat dipertaruhkan akan aku lakukan.
Hari memuncaratkan warna merah kekuningan di barat akhir jalannya. Aku duduk meratap, merenung dan mengasah bongkahan beserta serpihan luka yang kemaren mengajak mutia menulis sebuah sajak di jalan setapak yang kukirim lewat samirana senja. Perkumpulan sisa imajinasi tetap aku bawa menemui kubuh kecil di seberang lautan agar tidak semakin dianggap pecundang. Sempat aku bersyukur, karena dengan sebab penolakan abahnya terhadap lamaranku semangatku semakin membara untuk menjadi imam mutia dan juga semenjak kejadian itupula mutia semakin mengiaskan wajah-wajah rindu tanpa dusta walau kejadian di malam itu sangat tidak aku harapkan. Aku selalu yakin kalau kesemaptan kedua pasti datang meski tak senyaman kesempatan pertama. Dalam sejauh ini abahnya masih belum mengetahui gerak-gerik perjalananku dalam lautan hati mutia, anaknya. Atap-atap hayalku semakin kokoh dan kuat saja begitu pula dengan mutia tapi entah sampai kapan ini semua akan terpendam dari pengetahuan abahnya hal inilah yang masih belum aku pahami tapi yang jelas masih menjadi rahasia Tuhan. Selesai shalat dhuhur adik sepupuku memberiku kertas bertuliskan kepada rizal di pojok kiri, mahluk penasaran yang berdiam dalam file otakku melompat-lompat meminta hati untuk segera mengetahuinya.
“Mas ini ada titipan dari mutia, dia menitip surat ini, dia tadi bilang karena dia takut menyiksa hati mas rizal semakin dalam, aku bingung mas kenapa dia bicara seperti itu. Apa mas rizal punya masalah dengan mutia?” Tanya adiksepupuku.
“Tidak. menyiksaku?, apa maksudnya. Kapan dia kesini?”.Tanyaku.
“Tadi ketika mas waktu lagi shalat”. Jawabnya yang kemudian beranjak pergi dari hadapanku karena dia dipanggil oleh ummiku. Kupegangi surat itu tapi aku tidak langsung membacanya karena aku masih terhujani dan basah kuyub oleh kata-kata mutia yang membuatku bertanya-tanya. Demi mengubur rasa penasaran yang kian melompat-lompat dan terus memberontak, surat itu kubuka harapku agar rasa penasaran yang membengkak lekas lentur, sore itu tak sedikitpun ada iming-iming durja.
Kepada: Rizal (Imamku)
Di: kedamaian sana
Assalamualaikum wr,wb.
Maaf aku hanya bisa menitip surat ini kepada adik sepupumu dan tidak bisa menemuimu langsung bukannya aku tidak mau menemui zal, Tapi, karena aku tidak kuat menahan semua ini. Kau boleh menyalahkanku, kau boleh menyebutku seorang pendusta dan menyebutku pembohong setelah kau tahu masalah ini, sungguh aku berat untuk mengatakan semua ini tapi hal ini tak boleh aku pendam agar tidak menjadi fosil kepedihan yang kekal.
Jujur aku sebenarnya tidak ingin ini terjadi, Abah tanpa sepengetahuanku telah menerima lamaran shokib. zal, disini aku hanya bisa menerima walau berat rasanya. Kau mungkin tidak akan percaya kalau dalam hati ini hanya namamu yang menghias dan memberi warna surga.
Abah juga telah mengetahui hubungan kita, beliau juga memintaku untuk menjauhimu. Sampai-sampai aku dimintai sumpah olehnya untuk tidak berhubungan denganmu lagi.
aku mau dalam hatimu tetap ada rasa dan niat untuk menjadi imam dalam hidupku. Ini saja dari aku tolong maafkan aku.
Mutia…!
Wassalamualaikum wr,wb.
Dairku: Mutia
Kenapa bisa seperti ini? Apa mungkin mutia mempermainkank selama ini dengan pura-pura mencintaiku tapi, kalau ia kenapa dia mau menulis sebuah sejarah yang begitu panjang denganku. Atau dia hanya menjadikanku pelampiasan belaka?, oh.. tidak aku yakin dia pasti benar-benar tulus mencintaiku. Sulit aku percaya ternyata isi surat mutia adalah sebuah petaka bagi jiwaku yang aku khawatirkan selama ini. Aku merasa kalau sebuah penjelasan yang tak masuk akal telah mutia paparkan yang mungkin diadopsi dari sabda abahnya. Abah mutia begitu membenciku. Aku sungguh tak mengerti dengan sikap abahnya, dia menolak lamaranku satu bulan yang lalu tapi sekarang secara terang-terangan menjodohkan mutia dengan pilihannya sendiri. Tanpa terasa setelah membaca surat dari Mutia air mataku tumpa bukan aku tak bisa tegar namun aku tak kuat membayangkan semuanya. Persiapan sebuah cita berat rasanya, tak bisa kuimbangi kenyataan dengan hanya membusungkan dada, aku seperti hidup dalam ruangan hampa udara sesak terus mendesak.
Setelah selesai surat dari mutia kubaca, aku langsung menelpon mutia karena aku ingin meminta penjelasan secara terang darinya.
“Mut, ternyata aku memang tidak ditakdirkan menjadi imammu, meski aku mencoba tegar melalui kisah ini, aku tetap tidak bisa”.
“Jangan bicara seperti itu zal, aku sungguh minta maaf karena aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali yakin kalau kau pasti menjadi imamku ini semuan bukanlah mauku”. Ucap mutia di iringi tangis dari balik telpon.
“Aku mohon kamu jangan menangis, aku tahu ini semua bukan maumu, dan kamu harus tahu kalau abahmu telah menemukan pilihan yang terbaik untuk kamu, jujur aku tidak akan mengharamkanmu untuk menjadi milik orang lain walau sangat terjal untuk aku lakukan”.
“Tidak zal, bukan Abah yang akan menjalani semua ini tetapi aku, aku zal…!. Aku tidak bisa melakukan ini semua dan yang terbaik untuk aku adalah kamu”.
“Iya untuk kamu, tapi tidak untuk Abah kamu”. Tiba-tiba mutia menutup telponku dia marah mendengar kata-kata terakhirku. Hati ini sakit bila mendengar suara lembutnya karena mengingatkanku pada cerita bahagia. Ku kirim pesan singkat menyampaikan kata maafku agar dia tidak salah paham dengan kata-kataku. Aku semakin sadar dikalau sekenario Tuhan tak bisa kutebak dengan mudah dan kupahami secara lisan saja.
Mutia telah berikrar padaku kalau dia akan tetap menjaga gubuk yang telah aku bangun dalam hatinya, dan tidak akan membiarkan siapapun termasuk shokib masuk dan mengobrak-abrik gubuk suci dalam hatinya. Namun dalam episode selanjutnya semuanya berbeda tak tahu kenapa baru saja lima hari sehabis mutia menelponku nada dan warna wajahnya terhadapku semakin membentuk jarak yang sepertinya tidak boleh kulalui dan kumaini dia menganggapku asing. Setiap kutanya dia kenapa, jawabnya, “aku baik-baik saja”. Rasa cemas terhadap keberadaan gubuk dalam hati mutia yang aku bangun 15 sebtember kemarin tetap saja memuncak dan tidak akan lama lagi akan terjatuh, aku masih bingung terhadap apa yang harus aku perbuat bila mengingat kisahku selalu lembab dan becek oleh luka.
Semakin hari mutia semakin terbiasa dengan kedatangan Shokib dalam hatinya, aku semakin dilemparkannya ke lembah nestapa. Setiap tatap matanya kian hari kian kecut saja dia melupakan ikrarnya aku belum tahu karena faktor apa dia bisa berubah begitu cepat, dia juga tak pernah menghiraukan dikalau aku semakin tenggelam oleh luka. Sebenarnya aku ingin merdeka dari semua itu namun aku tak bisa karena dia tetap menjerat bathinku dalam batinnya walau dia tidak sadar akan hal itu. Sulit kuhapus jejaknya yang masih membekas dalam bilik kalbuku. Sekarang aku hanya bisa mendo’akannya agar bisa dengan sempurna mencintai Shokib, tunangannya. Aku mencoba menjauhinya dan memendam dalam-dalam hayalan untuk menjadi imam dalam hidupnya bukan aku putus asa tapi karena terlalu mustahil bagiku. Harapku agar luka yang kurasa tak semakin ia saja aku tinggalkan dia dilipatan halaman kemarin dan aku membuka lembaran baru denagan do’a wajah mentari sang fajar yang muda. Walau aku harus bersabar untuk menunggu musim mendatang bukan menunggu yang telah menjadi prasasti di jalan setapak perjalananku.
Mungkin sekarang mutia tidak akan merasakan tentang apa yang telah aku rasakan. Dia juga menganggap aku telah menghianati dirinya karena aku menjauhinya. Padahal bukan aku yang telah melakukan itu akan tetapi dirinya sendiri, aku disangkanya lari dari sebuah tanggung jawab yang harus aku pikul. Bagaimana aku bisa melakukan itu semua dikalau dirinya sudah tak menganggapku ada. Dua tahi lalat yang menghias kulit langsat di wajahnya sulit aku tukar dengan indah warna bianglala namun apa boleh buat!.
Categories: ,

12 comments:

Dimohon untuk tidak membuat komentar yang berisi :
1. Kata-kata Kotor.
2. Sara atau Rasis.
3. Dan berkomentar Negatif lainya.

Komentar yang mengandung unsur diatas akan langsung saya hapus.
Terimakasih.